#MahakaryaAyahIbu: Mahakarya dari Mahausaha, untuk Ibu dan Ayahku

Semilir angin berhembus dengan tajamnya menusuk ke dalam pori-pori hingga tulangku kala fajar itu menyongsong. Ah, hembusan bayu membuat tubuhku terasa kaku dan malas untuk beranjak. Sudah lama aku tidak menghirup udara di kampung halamanku, Ciburial, Bandung. Ya, beberapa bulan yang lalu aku resmi menjadi salah satu Mahasiswi di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, dan konsekuensinya, aku harus rela meninggalkan kampungku yang amat sejuk itu.
Seketika kupingku terasa berderung, ternyata itu berasal dari suara mesin sepeda motor ayahku yang rupanya sudah siap untuk dikendarai. Setiap pagi, lebih tepatnya lepas Shubuh, ayahku selalu mengantar ibuku pergi ke pasar. Tentunya untuk berbelanja. Ibuku membuka sebuah warung sembako, jajanan, dan tempat makan. Sehingga setiap pagi mereka harus selalu pergi ke pasar membeli semua kebutuhan.
Pasalnya, rumah dan warung ibuku dekat dengan sebuah proyek bangunan yang banyak sekali pekerjanya, dan setiap tiba waku makan, secara otomatis para pekerja itu menggandrungi warung makan ibuku. Ibuku orang yang hebat, ia mengerjakan semuanya sendiri. Memasak, meladeni pembeli, menghitung anggaran orang-orang yang belanja, hingga bersih-bersih. Di rumah, selepas pukul 07.00 hingga sore, hanya ada ibuku, nenekku, ataupun adikku yang masih duduk di bangku Sekolah Dasar.
Kakak pertamaku sudah menikah, sedang yang kedua itu sibuk bekerja. Dan saat ini, aku harus kuliah dengan merantau jauh dari rumah. Jadi mau tidak mau ibuku harus melakukannya sendiri, tapi ia jarang mengeluh. Ibuku juga pandai memasak, setiap masakkannya adalah makanan yang paling lezat. Bukan hanya menurutku lho ya, para pembeli pun kadang merasa puas dengan masakkan yang dibelinya di warung ibuku.