Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
hal yang dilakukan saat pasangan co-parenting menemukan cinta baru
ilustrasi co-parenting (pexels.com/Gustavo Fring)

Intinya sih...

  • Menyadari bahwa kehidupan masing-masing terus berjalan, termasuk menjalin hubungan baru yang wajar.

  • Menentukan batas komunikasi yang sehat dengan mantan pasangan, agar tidak menimbulkan kesalahpahaman.

  • Memberi ruang bagi anak untuk beradaptasi dengan kehadiran pasangan baru tanpa merasa terancam.

Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Dalam hubungan co-parenting, dua orangtua yang sudah berpisah tetap bekerja sama membesarkan anak tanpa harus hidup dalam satu rumah. Selama menjalani hal ini akan ada banyak hal yang berjalan di luar dugaan, terutama ketika salah satu mulai menjalin hubungan baru. Situasi ini kerap membawa perubahan besar, bukan hanya bagi dua orangtua, tapi juga bagi anak yang berada di tengah mereka.

Ada hal-hal yang perlu disadari agar transisi ini tidak menimbulkan jarak, konflik, atau salah paham. Sebab co-parenting bukan sekadar berbagi tanggung jawab, tapi juga belajar menghargai kehidupan masing-masing setelah berpisah. Berikut beberapa hal penting yang sebaiknya dilakukan ketika salah satu dari pasangan co-parenting bertemu cinta baru.

1. Menyadari bahwa kehidupan masing-masing terus berjalan

ilustrasi co-parenting (pexels.com/Julia M Cameron)

Salah satu hal paling penting dalam co-parenting adalah menerima bahwa hidup tidak berhenti setelah perpisahan. Ketika salah satu mulai menjalin hubungan baru, itu bukan pengkhianatan terhadap masa lalu, melainkan bagian dari proses hidup yang wajar. Banyak orang yang masih membawa emosi lama hingga lupa bahwa setiap orang berhak bahagia lagi. Dengan menyadari hal ini, kamu memberi ruang bagi diri sendiri dan mantan pasangan untuk berkembang tanpa saling menghambat.

Kesadaran ini juga membantu menjaga emosi tetap stabil di hadapan anak. Anak akan lebih mudah meniru sikap terbuka dan dewasa ketika melihat kedua orangtuanya bisa menghargai kehidupan masing-masing. Sikap ini tidak hanya menunjukkan kematangan emosional, tapi juga menciptakan lingkungan psikologis yang aman bagi anak untuk menerima perubahan baru dalam keluarganya.

2. Menentukan batas yang sehat dalam komunikasi

ilustrasi co-parenting (pexels.com/Askar Abayev)

Komunikasi jadi inti dari co-parenting, tapi saat salah satu sudah memiliki pasangan baru, batasnya perlu diperjelas. Percakapan yang dulu bisa berjalan bebas kini perlu difilter agar tidak menimbulkan kesalahpahaman. Misalnya, hal-hal personal sebaiknya tidak lagi dibahas di luar konteks anak. Banyak orang keliru mengira bahwa kedekatan lama harus tetap dijaga dengan intensitas yang sama, padahal hal itu justru bisa menciptakan ketegangan baru.

Menentukan batas bukan berarti menjauh, melainkan menata ulang bentuk komunikasi agar tetap profesional dan fungsional. Misalnya, menggunakan aplikasi khusus parenting untuk urusan anak bisa jadi solusi agar semua tetap transparan tanpa ada perasaan terganggu. Dengan begitu, semua pihak tahu posisinya masing-masing tanpa perlu drama atau rasa curiga.

3. Memberi ruang bagi anak untuk beradaptasi

ilustrasi co-parenting (pexels.com/Gustavo Fring)

Bagi anak, kehadiran orang baru dalam hidup salah satu orangtuanya bisa menimbulkan rasa bingung atau bahkan cemburu. Mereka mungkin bertanya-tanya, “Apakah posisi aku masih sama?” Di sinilah peran co-parenting benar-benar diuji. Kedua orangtua perlu memberi ruang bagi anak untuk mengekspresikan perasaan tanpa ditekan. Anak tidak harus langsung menyukai pasangan baru, tapi penting untuk tahu bahwa perasaannya tetap dihargai.

Beri waktu agar anak bisa melihat bahwa kehadiran pasangan baru tidak mengurangi kasih sayang orangtua. Hindari memaksa anak cepat akrab, karena kedekatan yang alami justru tumbuh dari rasa aman, bukan dari perintah. Ketika anak melihat kedua orangtuanya bisa tetap bekerja sama tanpa konflik, rasa percaya itu akan muncul dengan sendirinya.

4. Menghindari sikap kompetitif dengan pasangan baru

ilustrasi co-parenting (pexels.com/ RDNE Stock project)

Rasa tersaingi sering kali muncul tanpa disadari ketika salah satu bertemu pasangan baru. Padahal, dalam co-parenting, sikap seperti itu bisa memicu dinamika tidak sehat, terutama di depan anak. Kamu mungkin merasa perlu menunjukkan bahwa kamu “lebih tahu” tentang anak, tetapi hal itu justru bisa membuat situasi kaku dan membuat pasangan baru merasa tidak diterima.

Sikap terbaik adalah menempatkan diri secara proporsional. Kamu tidak perlu membandingkan peran, sebab pasangan baru bukan pengganti orangtua, melainkan tambahan figur yang bisa memberi dukungan emosional. Dengan memandang situasi seperti ini, kamu membantu anak belajar bahwa hubungan manusia tidak harus didasari rivalitas, melainkan kerja sama yang saling menghargai.

5. Menjaga konsistensi nilai dan pola asuh

ilustrasi co-parenting (pexels.com/ RDNE Stock project)

Kehadiran pasangan baru bisa membawa cara pandang berbeda tentang pola asuh, dan itu wajar. Namun, penting bagi kedua orangtua untuk tetap menjaga nilai dasar yang sudah disepakati sejak awal. Anak membutuhkan konsistensi agar tidak bingung menghadapi aturan yang berbeda di setiap rumah.

Komunikasikan nilai-nilai utama seperti disiplin, tanggung jawab, dan empati secara terbuka agar semua pihak memahami arah pengasuhan yang sama. Jangan biarkan pasangan baru menjadi sumber konflik hanya karena perbedaan gaya pengasuhan. Sebaliknya, jadikan momen ini sebagai kesempatan untuk memperluas perspektif dalam mendidik anak. Anak akan tumbuh lebih bijak ketika melihat orang-orang dewasa di sekitarnya bisa berdialog dengan tenang.

Menjalani co-parenting memang tidak mudah, terutama ketika ada sosok baru yang ikut terlibat dalam lingkaran keluarga. Tapi justru di titik inilah kedewasaan diuji, apakah hubungan yang sudah berakhir tetap bisa menjadi ruang aman untuk tumbuh bersama sebagai orangtua? Jadi, sudah siapkah kamu jika pasangan co-parenting bertemu cinta baru dan meresponsnya secara tenang serta dewasa?

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.

Editorial Team