Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
ilustrasi parenting
ilustrasi parenting (pexels.com/Andrea Piacquadio)

Intinya sih...

  • Menunjukkan sikap hormat lewat perilaku sehari-hari

  • Dorong rasa ingin tahu dan keinginan anak untuk bertanya

  • Ajak anak mengalami keberagaman secara langsung

Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Mengajarkan anak untuk menghargai sesama sejak dini di dunia yang penuh perbedaan jadi langkah penting supaya mereka tumbuh jadi pribadi yang ramah dan terbuka. Lewat kebiasaan sederhana yang dilakukan tiap hari, orang tua bisa menanamkan nilai toleransi tanpa perlu cara yang ribet.

Kalau kamu ingin anak tumbuh jadi pribadi yang menghargai keberagaman, budaya, dan pandangan orang lain, 5 tips ini bisa jadi panduan efektif. Yuk, simak selengkapnya!

1. Tunjukkan sikap hormat lewat perilaku sehari-hari

ilustrasi tetangga (unsplash.com/Clem Onojeghuo)

Anak-anak belajar dari apa yang mereka lihat. Kalau orang tua bersikap sopan, peduli, dan terbuka saat berinteraksi dengan orang dari latar belakang berbeda, anak pun cenderung meniru hal serupa. Misalnya, menyapa tetangga dengan ramah tanpa memandang suku atau agama mereka, atau berbicara dengan nada positif soal orang lain, itu semua jadi contoh nyata yang mudah dicerna anak.

Bukan cuma dari perbuatan, kata-kata juga punya pengaruh besar. Saat membicarakan perbedaan, hindari nada menghakimi atau stereotip. Kalau anak mengucapkan sesuatu yang terdengar bias atau tidak pantas, jangan dimarahi langsung. Lebih baik gunakan momen itu untuk menjelaskan kenapa kalimat tersebut tidak baik, dan bantu mereka memahami sudut pandang yang lebih positif. Cara bicara orang tua sangat berperan dalam membentuk sikap anak terhadap keberagaman.

2. Dorong rasa ingin tahu dan keinginan anak untuk bertanya

ilustrasi diskusi keluarga (pexels.com/Annushka Ahuja)

Anak kecil itu dasarnya penasaran. Saat mereka bertanya kenapa seseorang memakai pakaian berbeda atau menjalankan kebiasaan yang tidak mereka kenal, jangan langsung bilang “nanti juga tahu.” Jawablah dengan tenang dan jelas. Kalau kamu sendiri tidak tahu jawabannya, cari tahu bareng. Ini menunjukkan bahwa kamu juga terbuka untuk belajar dan anak jadi lebih nyaman mengeksplorasi rasa ingin tahunya.

Mendorong anak untuk bertanya justru bisa bantu mereka melihat perbedaan bukan sebagai hal yang aneh, tapi sesuatu yang menarik untuk dipahami. Penting bagi orang tua menciptakan suasana rumah yang terbuka untuk diskusi, di mana anak merasa aman dan tidak takut salah saat bertanya. Kalau anak dibiasakan bertanya dengan cara yang sopan dan mendengarkan jawabannya dengan hati terbuka, mereka akan tumbuh jadi pribadi yang peka dan menghargai orang lain.

3. Ajak anak mengalami keberagaman secara langsung

ilustrasi anak (unsplash.com/Artem Kniaz)

Anak jadi lebih terbuka kalau mereka punya kesempatan bertemu dan bergaul langsung dengan orang-orang dari latar belakang berbeda. Coba ajak mereka datang ke festival budaya, mencicipi makanan khas negara lain di rumah, atau main bersama anak-anak dari berbagai latar belakang. Kalau memungkinkan, pilih sekolah atau komunitas yang punya murid atau anggota yang beragam.

Kegiatan nyata seperti ini punya dampak yang jauh lebih kuat daripada hanya menjelaskan lewat kata-kata. Anak yang dibiasakan berada dalam lingkungan inklusif lebih cepat memahami arti keadilan dan menghargai perbedaan. Ketika mereka mengalami sendiri betapa serunya menjalin pertemanan tanpa melihat latar belakang, perasaan nyaman dan saling percaya pun tumbuh secara alami.

4. Terapkan disiplin positif saat anak bersikap tidak adil

ilustrasi parenting (pexels.com/August de Richelieu)

Kalau suatu hari anak berkata sesuatu yang menyakitkan atau menolak bermain dengan teman yang berbeda, jangan langsung emosi. Gunakan pendekatan disiplin positif, yaitu fokus pada perilakunya, bukan menyalahkan pribadinya. Sampaikan dengan jelas bahwa dalam keluarga kalian menjunjung tinggi nilai saling menghormati. Hindari hukuman yang membuat anak merasa malu atau bersalah berlebihan.

Daripada kamu memarahi anakmu, lebih baik arahkan anak untuk melakukan hal yang lebih baik. Misalnya, ajak mereka menggambar bersama teman yang tadi mereka jauhi, atau menulis kartu ucapan untuk perayaan budaya lain. Pendekatan seperti ini akan memperkuat pesan bahwa bersikap baik kepada semua orang adalah bagian penting dari kehidupan sehari-hari. Anak pun akan lebih mudah memahami nilai toleransi bukan sebagai aturan yang kaku, tapi sebagai sesuatu yang menyenangkan dan bermakna.

5. Bangun empati lewat parenting yang penuh perhatian

ilustrasi parenting (unsplash.com/Priscilla Du Preez 🇨🇦)

Empati tumbuh saat anak merasa dirinya juga dimengerti. Lewat pola asuh yang penuh perhatian, di mana orang tua hadir secara penuh, mendengarkan sungguh-sungguh, dan tidak reaktif, anak akan belajar mengelola emosinya sendiri dan jadi lebih peduli dengan orang lain. Saat orang tua terbiasa menanggapi anak dengan tenang dan sabar, anak juga akan meniru gaya tersebut dalam berinteraksi dengan temannya.

Ketika anak merasa tidak nyaman dengan perbedaan, jangan langsung menolak atau menyuruh mereka diam. Dengarkan perasaannya, bantu mereka menamai emosi yang muncul, dan arahkan secara perlahan agar mereka lebih memahami sudut pandang orang lain. Dengan cara ini, anak bukan cuma jadi lebih dewasa secara emosional, tapi juga lebih terbuka terhadap keberagaman di sekitarnya.

Menumbuhkan sikap toleran pada anak memang butuh waktu dan kesabaran, tapi hasilnya luar biasa. Lewat contoh dari orang tua, ruang untuk bertanya, pengalaman langsung, pendekatan disiplin yang bijak, dan empati yang tulus, anak akan belajar menyambut perbedaan dengan pikiran terbuka dan hati yang hangat. Mulai saja dari hal kecil tiap hari, perlahan tapi pasti, anak akan tumbuh jadi pribadi yang menghargai sesama dengan tulus.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.

Editorial Team