jajaran buku di rak (Pexels.com/Polina Zimmerman)
Alasan lain yang bikin buku kehilangan peminatnya adalah inflasi harganya yang lumayan. Entah dari ongkos cetak atau biaya distribusi, apalagi bila kamu menyasar rilisan fisik impor. Ini beda dengan tarif nonton bioskop dan langganan OTT yang relatif stabil, masih disertai berbagai promo.
Kini, harga satu buku, baik cetak maupun elektronik, setara dengan nonton bioskop 2-5 kali, bahkan seharga langganan layanan OTT selama sebulan atau beberapa bulan untuk ratusan judul sesuai seleramu. Untuk masalah dana, sistem peminjaman lewat perpustakaan baik yang luring maupun daring memang bisa jadi solusi.
Namun, ada waktu yang harus kamu alokasikan untuk melahap satu buku, yakni bisa beberapa hari bahkan bulan tergantung kecepatan baca masing-masing orang. Bandingkan dengan satu film yang rata-rata hanya 1,5 sampai 2 jam saja per judul.
Intinya, ada investasi dana dan waktu yang tidak sedikit untuk mengakses sebuah buku. Tak heran bila buku lebih banyak dinikmati kelas menengah atas yang punya waktu dan penghasilan surplus. Sementara, masyarakat kelas pekerja kerah biru (dengan jam kerja panjang) dan kelas menengah bawah harus puas mengakses hiburan-hiburan yang cenderung gratis dan praktis seperti video di YouTube dan tayangan di televisi.