Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
ilustrasi bersedekap tangan (pexels.com/Karolina Grabowska)

Siapa yang tidak ingin mewujudkan ambisi? Kamu bisa meraih jabatan tertentu yang diinginkan dan pencapaian lain yang terkesan membanggakan.

Seringnya, orang menganggap ambisi sebagai standar kebahagiaan, sehingga rela melakukan segala cara, termasuk saling menjatuhkan satu sama lain agar tidak memiliki pesaing.

Jika kamu mau berpikir lebih cermat, ambisi bukanlah standar kebahagiaan. Apalagi rela berbuat curang demi ambisi toksik. Walaupun kamu berhasil meraih pencapaian, tapi tidak sedikit pun merasa puas. Berikut lima alasan ambisi gak bisa dijadikan sebagai penentu kebahagiaan. Memiliki ambisi boleh, asal tetap dalam kendali.

1. Ambisi toksik justru merusak ketenangan hidup

ilustrasi merasa tertekan (pexels.com/Tiger Lily)

Pasti kamu sudah gak asing dengan orang-orang yang berusaha meraih kebahagiaan dengan berbagai cara. Salah satunya menjadikan ambisi sebagai patokan.

Namun, apakah cara seperti ini benar? Padahal ambisi juga memiliki sisi negatif tersendiri jika sudah berubah toksik. Bahkan merusak hubungan sosial dengan orang-orang sekitar.

Alasan ambisi gak bisa dijadikan sebagai sumber kebahagiaan karena keberadaan ambisi toksik itu sendiri. Sebagaimana yang kita tahu, ambisi toksik justru merusak ketenangan hidup.

Relasi sosial yang terjalin kompak dan harmonis jadi saling menjatuhkan. Kamu selalu merasa ragu dan was-was sehingga terkurung kecemasan.

2. Dengan adanya ambisi, seseorang bisa tertekan

Editorial Team

Tonton lebih seru di