Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
ilustrasi kehidupan sosial (pixabay.com/Mohamed_hassan)
ilustrasi kehidupan sosial (pixabay.com/Mohamed_hassan)

Secara harfiah, tone deaf bermakna tuli nada atau ketidakmampuan membedakan nada atau suara dengan benar. Namun, jika dikaitkan dalam konteks sosial, tone deaf ini bermakna ketidakpekaan terhadap sosial. Sederhananya, yakni tidak punya empati terhadap sekitar.

Apalagi, jika orang yang bersangkutan punya privilege khusus dalam dimensi kehidupan. Gak jarang keistimewaan yang dimiliki ini bikin berlebihan dalam menunjukannya tanpa memikirkan perasaan atau situasi sekitar. Jika kamu punya sikap tone deaf dan punya kesadaran ingin memperbaikinya, berikut sederet cara bijak mengendalikan sikap kurang peka terhadap sosial.

Sumber rujukan:

Pengalaman pribadi penulis

1. Apresiasi diri karena punya keinginan peka terhadap sekitar

ilustrasi kehidupan sosial (pexels.com/Andrea Piacquadio)

Kalau kamu ingin mengatasi sikap tone deaf, maka coba mulai dengan apresiasi diri sebagai pemicu rasa semangat. Kamu keren, gak banyak yang punya sikap ingin memperbaiki kepekaan sosial seperti kamu.

Di saat kamu memiliki keistimewaan khusus, punya potensi untuk memamerkannya di depan publik, mencari validasi sekitar, hingga dapat atensi yang bikin berpuas diri. Tapi, kamu malah memilih untuk peka terhadap sekitar yang tidak seberuntung kamu.

Kamu hebat lantaran masih punya kesadaran sosial untuk menjaga perasaan sekitarmu yang berada di bawah kelasmu. Jadi, kamu layak mendapatkan apresiasi atas usaha baik yang akan kamu mulai untuk mengubah diri.

2. Berkaca dari sosok yang berada di kelas atasmu

Ilustrasi kehidupan sosial (pixabay.com/geralt)

Kalau kamu terbiasa bersikap tone deaf, tentu target sasaran yang menjadi korban ialah sosok yang berada di bawah kelasmu. Sekarang, coba putar posisinya, lihatlah ke atas, ada begitu banyak sosok orang yang punya kelas jauh di atasmu, baik hasil perjuangan sendiri maupun punya privilege khusus.

Dengan menyadari fakta adanya sosok yang berada di atasmu, kamu bisa lebih berkaca diri. Kamu bisa sadar dan tertampar fakta bahwa keistimewaan yang kamu miliki itu gak ada apa-apanya dibandingkan apa yang mereka punya.

Apalagi, jika sosok yang di atasmu itu punya sikap peka sosial, menghargai kelas di bawahnya. Lantas, apakah kamu yang ada di bawahnya itu gak malu saat punya sikap acuh dengan sekitar? Renungkan.

3. Bangun kesadaran bahwa jika dari start yang sama belum tentu kamu lebih unggul

ilustrasi kehidupan sosial (pixabay.com/sasint)

Sebagan bahan evaluasi untuk lebih peka terhadap sekitar, coba renungkan terkait asal usul dari keistimewaan yang kamu miliki saat ini. Bisa jadi, tanpa warisan dari orangtuamu, sekarang kamu bukanlah siapa-siapa.

Bisa jadi, jika sama-sama berawal dari startyang sama, sama-sama gak punya privilege, maka yang menang justru orang sekitarmu. Kalau kamu saat ini kelasnya di atas lantaran pewaris bukan perintis, coba balik posisinya.

Bisa jadi, saat kamu dan dia sama-sama perintis, mungkin yang jauh lebih cepat sukses ialah dia. Dengan pemahaman akan kamu tanpa privilege itu sama seperti sekitar, maka kamu akan lebih mudah untuk memiliki kepekaan sosial.

4. Gak apa untuk menikmati privilege, tapi tidak untuk dibagikan secara luas

ilustrasi kehidupan orang kaya (pexels.com/RDNE Stock project)

Kalau kamu merasa berhak untuk unjuk diri atas privilege yang kamu miliki, tentu gak ada salahnya. Terlebih, sejatinya kamu tidak punya kewajiban khusus untuk menjaga perasaan sekitarmu yang kelasnya di bawahmu.

Hanya saja, jika membahas terkait kepekaan sosial, jelas harus punya batasan tertentu, ya. Misalnya saja sebagai win-win solution, tanpa mengurangi kenikmatan dari privilege yang kamu punya, cukup dibagikan dengan sekitar yang tidak memicu kecemburuan sosial.

Terlebih, hukum tarik menarik itu teramat kuat, lho. Kamu gak bisa membatasi orang yang iri hati terhadapmu. Mulai dari risiko merebut posisimu, hingga ucapan buruk yang bisa menjadi bumerang atas privilege yang kamu miliki. Renungkan hal tersebut, demi kebaikanmu sendiri, sembari juga menjadi alasan untuk stop bersikap tone deaf.

5. Bangun rasa simpati dan empati, posisikan diri sebagai korban sikap tone deaf

ilustrasi kehidupan sosial (pexels.com/Sharefaith)

Puncaknya, jika menahan dan kontrol diri untuk stop bersikap tone deaf itu terlalu menyulitkan. Maka, cobalah bangun rasa simpati dan empati yang tinggi terhadap sekitarmu.

Ajak diskusi dirimu sendiri, apakah kamu tidak iba saat bersenang-senang di atas duka yang dirasakan sekitarmu? Renungkan. Tidak semua orang seberuntung kamu dengan privilege yang kamu miliki.

Terlebih, bagaimana jika posisinya di balik? Tidakkah kamu bersedih hati saat sekitarmu cuek dan acuh melihat ketidakberdayaanmu. Situasi dan kondisi tidak berdayamu itu berbanding terbalik dengan aneka kemewahan hingga kemudahan mereka dalam mengakses semuanya.

Dengan memposisikan diri sebagai korban ketidakpekaan sosial, kamu jadi belajar untuk stop menjadi pelaku yang gak peduli dengan perasaan sekitar. Terlebih, dengan menghargai orang yang berada di bawahmu, maka orang juga lebih segan terhadapmu. Sepakat?

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.

Editorial Team