ilustrasi seorang perempuan (pexels.com/Rafa Barros)
Memang ada kondisi yang mengharuskanmu menyimpan dulu kesedihan yang dirasakan. Sebagai orang dewasa yang bekerja, kamu mungkin mesti berhadapan dengan klien dan menampilkan sisi profesionalmu. Namun, setelah waktu kerja habis atau bahkan pekerjaanmu cuma perlu berhadapan dengan layar komputer, murung juga tak apa-apa.
Hal yang terpenting, meski bibir lagi susah senyum, tugas-tugasmu tetap beres tepat waktu. Kalau ada teman yang bertanya, jawab saja dengan apa adanya bahwa dirimu sedang sedih oleh sesuatu. Tidak perlu memaksakan diri untuk tersenyum terus. Selama ekspresi kesedihan tak mengganggu tuntutan dalam pekerjaan, bersikap natural saja.
Bahkan, bila kesedihanmu amat kuat, orang lain juga pasti bisa mengerti saat dirimu histeris. Contohnya, ketika kamu berbincang dengan klien tiba-tiba ada telepon dari rumah sakit tempat orangtuamu dirawat. Mereka mengabarkan kondisinya kritis dan dirimu diminta segera datang.
Gak usah kebanyakan mikir untuk tetap tampil tenang di depan klien. Klienmu juga manusia yang dapat merasakan kepanikan seandainya berada di posisimu. Katakan saja apa yang telah terjadi dan harus kamu lakukan sekarang. Minta maaflah dan berjanjilah untuk kembali mengagendakan pertemuan. Mereka pasti maklum, bersimpati, bahkan barangkali mengantarmu ke rumah sakit.
Semua orang akan mengalami kebahagiaan serta kesedihan secara berganti-ganti sepanjang hidupnya. Bila kebahagiaan ditampilkan tanpa keraguan, kenapa kesedihan harus selalu disembunyikan? Sekalipun kamu berkarakter ceria, tidak apa-apa membiarkan rasa sedihmu diketahui oleh orang lain. Kepedulian mereka akan menghangatkan perasaanmu dan bikin kamu merasa jauh lebih baik.