ilustrasi memberi (pexels.com/RODNAE Productions)
“Alhamdulillah, hari ini membagikan 100 bingkisan ke anak panti sebagai tasyakuran ulang tahun yang ke-25.”
“Masya Allah tabarakallah, sudah dibagikan 200 paket sembako ke orang-orang yang membutuhkan.”
“Guys, yuk, yang punya rezeki lebih, kalian bisa pesan makanan ke ojek online, kemudian minta bapak pengemudinya memberikan ke orang-orang yang membutuhkan di sekitarnya. Bapak ojeknya dapat makanan plus orderan, restoran jadi ramai pesanan, orang-orang pun banyak terbantu.”
Bila tujuannya untuk mendorong dan memberi ide baru dalam hal berbagi, boleh-boleh aja, sih, untuk membagikan amal baikmu di media sosial. Contoh di atas sangat baik dan patut ditiru, apalagi mengingat kita sedang berada di masa sulit seperti sekarang, di mana banyak yang kehilangan pekerjaan. Ide segarmu dalam berbagi kepada masyarakat, akan jadi inspirasi orang lain untuk diikuti.
Nah, yang sebaiknya kamu hindari untuk dibagikan di media sosial, adalah ‘laporan’ terkait perbuatan positifmu yang sebenarnya gak ada manfaatnya sama sekali, kecuali cuma memuaskan egomu saja. Hati-hati, lho, perbuatan seperti itu, bisa menjebakmu dalam perbuatan riya’ atau pamrih.
Dan khawatirnya, di kemudian hari, dorongan beramal baik bukan lahir dari kepekaan sosial atau hati nuranimu sendiri, tapi alasan ‘haus’ pujian dari orang lain. Jadi tidak ikhlas deh karena ada maksud tertentu. Itu, yang bahaya!