Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
ilustrasi perempuan overthinking
ilustrasi perempuan overthinking (freepik.com/freepik)

Intinya sih...

  • Menganggap perasaan selalu merepresentasikan realitas.

  • Menghubungkan kecemasan dengan ancaman nyata.

  • Menganggap diri tidak berharga hanya karena sedang sedih.

Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Pernah merasa pikiranmu jadi keruh hanya karena perasaanmu sedang kacau? Banyak orang gak sadar bahwa mereka sedang terjebak dalam emotional reasoning, yaitu kesalahan kognitif ketika perasaan dianggap sebagai fakta mutlak. Kondisi ini sering bikin kamu percaya bahwa sesuatu buruk akan terjadi hanya karena hatimu sedang resah.

Emotional reasoning bisa jadi sumber terbesar overthinking yang melelahkan mental. Saat kamu terlalu percaya pada emosi, pandanganmu terhadap diri sendiri dan hidup jadi kabur. Kalau kamu merasa sering kewalahan oleh pikiran negatif belakangan ini, yuk simak lima tanda emotional reasoning yang perlu kamu waspadai!

1. Menganggap perasaan selalu merepresentasikan realitas

ilustrasi perempuan sedih (pexels.com/Timur Weber)

Emotional reasoning biasanya muncul saat kamu percaya bahwa emosi adalah bukti objektif dari kenyataan. Kalau kamu merasa gagal, kamu langsung menyimpulkan bahwa kamu memang gak punya kemampuan. Pada akhirnya kamu menilai hidup lewat emosi sesaat, bukan lewat fakta yang sebenarnya.

Pola ini bikin kamu mudah terjebak dalam kesalahan kognitif dan sulit berpikir jernih. Kamu akan menempatkan perasaan sebagai patokan utama meski kenyatannya belum tentu begitu. Reaksi emosionalmu jadi filter yang membuat kamu melihat diri lebih buruk dari kenyataan.

2. Menghubungkan kecemasan dengan ancaman nyata

ilustrasi perempuan (freepik.com/freepik)

Saat cemas, kamu langsung berpikir sesuatu buruk pasti terjadi. Kamu merasa grogi sebelum presentasi lalu menyimpulkan bahwa hasilnya pasti gagal. Padahal rasa cemas adalah respons tubuh, bukan indikator bahwa hidupmu sedang berada dalam bahaya.

Distorsi seperti ini bikin kamu sulit membedakan sinyal emosional dan fakta objektif. Kamu jadi takut mengambil langkah karena pikiranmu selalu melompat ke kemungkinan terburuk. Semakin kamu mengikuti rasa cemas, semakin besar peluang overthinking menguasai pikiran.

3. Menganggap diri tidak berharga hanya karena sedang sedih

ilustrasi perempuan bersedih (freepik.com/pikisuperstar)

Ketika sedih, kamu menyimpulkan bahwa kamu gak cukup baik, gak kompeten, atau gak berharga. Padahal sedih hanyalah emosi manusiawi yang muncul karena situasi tertentu, bukan penilaian objektif tentang dirimu. Kamu jadi memaknai emosi sebagai identitas, bukan sebagai kondisi sementara.

Pola ini membuatmu melihat diri secara ekstrem dan memperkuat pikiran negatif. Kamu terjebak dalam siklus mengatasi pikiran negatif yang salah arah karena setiap perasaan langsung dianggap sebagai fakta tentang diri sendiri. Kalau terus berlanjut, kamu bisa kehilangan perspektif terhadap kelebihanmu.

4. Merasa telah melakukan kesalahan besar

ilustrasi menghibur teman yang sedih (freepik.com/katemangostar)

Emosi bersalah bisa muncul hanya karena kamu merasa gak enak atau takut mengecewakan orang lain. Kamu merasa bersalah, lalu menyimpulkan bahwa kamu pasti salah meski kenyataannya tidak begitu. Kamu pun sering meminta maaf untuk hal-hal yang sebenarnya tidak perlu.

Kebiasaan ini membuatmu sulit menilai situasi secara rasional dan objektif. Kamu menempatkan perasaan sebagai bukti, bukan sebagai informasi yang perlu diproses. Tanpa disadari, kamu mengabaikan fakta dan membiarkan perasaan mengambil alih semua keputusan.

5. Menganggap ketidaknyamanan sebagai tanda kamu harus menghindar

ilustrasi perempuan takut (freepik.com/freepik)

Saat sesuatu terasa menegangkan, kamu langsung menyimpulkan bahwa itu berbahaya atau gak layak dicoba. Kamu takut mencoba hal baru karena tubuhmu memberi sinyal tidak nyaman. Padahal rasa tidak nyaman adalah bagian dari proses belajar, bukan peringatan untuk mundur.

Distorsi ini bisa membatasi potensi dan membuatmu gampang berhenti sebelum berkembang. Kamu memilih zona aman meski tahu itu menghambat pertumbuhan dirimu. Menyamakan ketidaknyamanan dengan ancaman hanya akan membuat kamu makin sulit keluar dari lingkaran emotional reasoning.

Mengenali emotional reasoning bisa membantumu memahami pola pikir yang selama ini memicu overthinking. Distorsi kognitif ini bukan sesuatu yang harus ditakuti, tapi bisa dikelola dengan kesadaran dan latihan berpikir objektif. Yuk, mulai biasakan diri memisahkan emosi dari fakta agar kamu bisa menilai hidup dengan lebih jernih dan seimbang!

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.

Editorial Team