Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
ilustrasi percakapan (pexels.com/Mikhail Nilov)
ilustrasi percakapan (pexels.com/Mikhail Nilov)

Pujian seharusnya membuat penerimanya senang dan mengekspresikan kebahagiaan itu. Tapi belakangan ini kamu seperti biasa-biasa saat dipuji orang. Padahal, dulu pujian yang sama membuat perasaanmu begitu tersanjung. Rasa senangnya bisa bertahan lama bahkan sampai bikin kamu susah tidur.

Apakah ini artinya dirimu tidak lagi mensyukuri pujian yang ditujukan padamu? Jangan-jangan orang lain bisa merasakan dinginnya sikapmu dan itu membuat mereka tersinggung. Mereka sudah sungguh-sungguh memujimu dengan harapan kamu gembira ketika mendengarnya.

Namun, ternyata reaksimu seperti kurang terkesan. Pujian yang tidak lagi meninggalkan kesan mendalam buatmu sangat tergantung dari tentang apa dan siapa yang menyampaikannya. Kamu tak lagi gampang tersanjung oleh pujian apabila situasinya sebagai berikut.

1. Sudah terlalu sering mendapatkan pujian serupa

ilustrasi percakapan (pexels.com/Kenneth Surillo)

Pengulangan pujian dalam jangka panjang akan menyebabkan perasaan gak lagi istimewa. Bahkan boleh jadi sejujurnya kamu merasa muak terhadap suatu pujian. Contohnya, sejak kecil dirimu selalu dipuji dari segi ketampanan atau kecantikan. Dalam banyak tahun kamu menikmati pujian itu. 

Kekaguman orang-orang di sekitar bikin kamu tambah percaya diri atas daya tarikmu. Namun, perasaan ini suatu saat bisa berubah. Kamu mulai menginginkan pujian yang tak sekadar disebabkan oleh parasmu saja. Dirimu ingin dipuji karena hal-hal lain yang menurutmu lebih bermakna.

Seperti sifat baik atau apa yang berhasil dilakukan. Ketika rasa tak puas akan pujian lama telah muncul, kamu malah sebal kalau orang terus mengatakan dirimu cantik atau tampan. Menurutmu, bila pun penilaian mereka benar lalu apa? Tidakkah mereka dapat melihat hal positif lain dalam dirimu atau cuma selalu fokus ke fisikmu?

2. Tahu karakter pemuji yang kurang tulus

ilustrasi percakapan (pexels.com/RDNE Stock project)

Perasaanmu juga dipengaruhi oleh siapa yang memujimu. Apabila pujian dilontarkan oleh orang yang terkenal pelit pujian, kegembiraanmu berlipat. Kamu tahu bahwa meski dia jarang memuji, sekali melakukannya pasti punya alasan yang kuat dan tulus.

Namun jika dirimu mengenal watak seseorang yang memuji hanya saat ada maunya, kamu menjadi tak bisa menikmati pujiannya. Makin banyak pujian yang diberikannya, makin dirimu merasa harus sangat waspada. Dari pengalamanmu yang sudah-sudah, ini cuma pembuka sebelum dia menyampaikan kepentingannya yang asli.

Terkadang saking kamu sebal pada sifatnya itu, tanpa ragu dirimu berkata supaya ia to the point saja. Gak usah repot-repot memujimu untuk hal-hal yang bahkan belum tentu tepat buatmu. Bukannya kamu tidak tahu cara bersikap ramah, tetapi ending dari rangkaian pujiannya memang selalu tentang keperluan pribadinya saja. 

3. Menjaga diri dari kesombongan

ilustrasi percakapan (pexels.com/Jopwell)

Kamu sadar bahwa larut dalam pujian apa pun bisa menjerumuskanmu dalam kesombongan. Sejak saat itu dirimu lebih berhati-hati dan belajar menyikapi pujian dengan biasa-biasa saja. Harapanmu, pujian tersebut tak terlalu memengaruhimu secara psikis.

Kamu ingin tetap menjadi diri yang sama dengan atau tanpa memperoleh pujian tersebut. Kekhawatiran terbesarmu adalah sekali ada perasaan tinggi hati dalam diri bakal sulit untukmu memperbaikinya. Kamu tak lagi dipuji orang pun tetap saja rasanya jauh lebih hebat dari mereka semua.

Dirimu menyampaikan rasa terima kasih atas pujian seseorang. Namun, setelah kamu mendengar pujian itu seakan-akan memakai strategi sengaja melupakannya. Biar pujian yang indah-indah tidak terasa terus terngiang. Bila dirimu memikirkan pujian itu siang dan malam pasti muncul perasaan bangga yang berlebihan.

4. Merasa apa yang dimiliki hanya titipan atau pemberian

ilustrasi percakapan (pexels.com/Mikhail Nilov)

Contohnya, kamu dipuji hebat oleh teman-teman karena di usia kalian yang sepantar, dirimu terlebih dahulu mencapai kebebasan finansial. Kamu tidak lagi sekadar mandiri dalam hal keuangan, tetapi kondisi ekonomimu sudah amat longgar. Ibaratnya, tanpa kamu membuat anggaran belanja pun pemasukan selalu jauh melampaui pengeluaran.

Bahkan di usia muda dirimu telah membangun aset buat masa depan sampai masa tuamu kelak. Tapi dipuji hebat oleh orang-orang tak serta-merta melambungkan perasaanmu. Sering kali kamu malah menjadi malu dan salah tingkah. Menurutmu, semua harta itu hanya titipan dari Pemilik Kehidupan.

Bukan kepunyaanmu sehingga lebih pas apabila mereka memuji sifat pemurah Tuhan terhadapmu bahkan pada semua makhluk-Nya. Pokoknya, segala pujian hanya layak untuk-Nya. Begitu pun ketika kamu sadar betul bahwa kekayaanmu bukan murni hasil kerja kerasmu.

Sebagian besarnya pemberian orangtua. Pujian orang-orang malah dapat membuatmu kurang percaya diri dan malu sebab kaya dari warisan. Walau tentu saja, perasaan demikian juga gak tepat karena kamu memang ahli waris mereka. Harta orangtua otomatis turun padamu kecuali ada yang diwakafkan atau dijual oleh mereka.

5. Sadar banyak pertolongan Tuhan dan orang lain dalam pencapaianmu

ilustrasi percakapan (pexels.com/Alexander Suhorucov)

Pujian tentang prestasi yang rasanya amat layak untuk membuatmu bangga ternyata juga dapat terasa biasa saja. Meski pencapaian itu diraih dengan kerja keras, kamu paham bahwa ada pertolongan Tuhan yang gak bisa diingkari. Apabila prestasimu semata-mata akibat kemampuan diri, seharusnya dari dulu mudah sekali untukmu meraihnya.

Akan tetapi, kamu sudah gagal dalam banyak kesempatan. Sekalipun saat itu latihanmu juga gak kurang-kurang. Maka ketika akhirnya kali ini dirimu berhasil, kamu sadar bahwa semua ini terjadi atas izin-Nya. Begitu pula untuk prestasi yang diraih bersama tim.

Seandainya kamu bekerja sendiri belum tentu pencapaianmu sama baiknya. Bila orang-orang hanya sibuk memujimu, dirimu malah tak enak pada kawan-kawan satu tim. Kalau satu kelompok ada lima orang dan semuanya bekerja dengan baik, kontribusimu diukur secara keseluruhan hanya 20 persen. Tidak adil rasanya jika cuma dirimu yang panen pujian.

6. Merasa sudah seharusnya melakukan sesuatu

ilustrasi percakapan (pexels.com/Gustavo Fring)

Sesuatu yang dipandang sebagai kewajiban tidak terasa terlalu istimewa ketika ditunaikan. Pikirmu simpel, memang sudah seharusnya kamu melakukannya. Justru akan menjadi kesalahan besar buatmu jika dirimu tidak menjalankannya yang berarti pengabaian atas tanggung jawab.

Lain dengan pilihan yang memungkinkanmu untuk mengambilnya atau tidak. Misalnya, perbuatan baikmu dalam menolong orang lain. Karena kamu menganggapnya sebagai kewajiban terhadap sesama manusia, pujian atas kebaikanmu justru terasa berlebihan. 

Bukankah keterlaluan sekali bila dirimu sampai tidak mengulurkan tangan padahal sebenarnya mampu? Kamu tak merasa baru saja mengerjakan sesuatu yang luar biasa. Tindakanmu membantu semata-mata memenuhi kewajibanmu yang jika diabaikan malah membebani nuranimu. Maka resposnmu terhadap pujian itu menjadi biasa-biasa saja.

Dipuji tentu lebih menyenangkan daripada dicela. Akan tetapi sesenang-senangnya kamu memperoleh pujian, seiring waktu dapat menjadi terasa biasa-biasa saja bahkan sebal. Kalau dirimu merasa terganggu sekali oleh pujian tertentu, komunikasikan saja secara halus pada orang yang menyampaikannya. Supaya ia tidak perlu mengatakannya lagi di lain waktu.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.

Editorial Team