Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
Ilustrasi rumah panggung
Ilustrasi rumah panggung (Freepik/suksao)

Intinya sih...

  • Rumah panggung untuk menghindari genangan.

  • Pola permukiman "mengikuti alam" bukan melawannya.

  • Hutan larangan dan zona lindung adat.

Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Indonesia punya sejarah panjang hidup berdampingan dengan air. Sebelum ada beton, pompa, dan drainase modern, masyarakat mengembangkan kearifan lokal yang terbukti bertahan puluhan bahkan ratusan tahun. Sayangnya, banyak dari praktik ini mulai hilang karena modernisasi dan perubahan gaya hidup.

Berikut tujuh kearifan lokal menghadapi banjir yang efektif dan mestinya dilestarikan lagi.

1. Rumah panggung untuk menghindari genangan

Ilustrasi rumah panggung (Freepik/suksao)

Di Sumatra, Kalimantan, Sulawesi, hingga Papua, rumah panggung adalah cara paling sederhana dan efektif untuk menghindari genangan.

Dengan meninggikan lantai dan membuat celah udara, rumah tetap aman meski air naik. Kini, banyak daerah pesisir dan rawa meninggalkan model ini karena mengejar gaya bangunan modern, padahal risiko banjir makin sering.

2. Pola permukiman "mengikuti alam" bukan melawannya

Ilustrasi pola permukiman (Freepik/tawatchai07)

Dulu, masyarakat memilih tempat tinggal berdasarkan kontur tanah, arah aliran air, dan jenis vegetasi. Ada kawasan yang gak boleh dibangun karena dianggap “jalan air” atau daerah resapan.

Saat kota-kota besar mengabaikan pola ini dengan menguruk rawa, menutup sungai kecil, hingga membangun di dataran banjir, risiko pun melonjak.

3. Hutan larangan dan zona lindung adat

Ilustrasi hutan lindung (Freepik/wirestock)

Suku Baduy, Dayak, Manggarai, hingga komunitas adat lain punya konsep “zona larangan” yang gak boleh diganggu karena fungsi ekologisnya sebagai penahan banjir. Aturan ini gak tertulis, tapi ditaati.

Kini, deforestasi dan pembukaan lahan membuat buffer alami banjir hilang dan banjir jadi lebih besar.

4. Sistem penjaga sungai

Ilustrasi penjaga sungai (Freepik/tirachard)

Beberapa desa punya sistem penjaga sungai yang tugasnya membersihkan sampah alami, memastikan aliran gak tersumbat, menjaga tanaman riparian (tepi sungai), atau membuat jadwal ronda sungai saat musim hujan.

Kini, peran penjaga sungai sering hilang digantikan proyek teknis yang gak selalu rutin dilakukan.

5. Tanda alam sebagai sistem peringatan dini

Ilustrasi hujan (Freepik/Kireyonok_Yuliya)

Sebelum ada sirine dan aplikasi cuaca, masyarakat pesisir atau bantaran sungai membaca “tanda alam” sebagai sistem peringatan dini akan bahaya banjir. Beberapa tanda alam itu antara lain suara sungai yang berubah, perilaku hewan, angin laut yang memanas, perubahan warna air, hingga durasi hujan tertentu.

Memang gak semua akurat secara ilmiah, tapi pola ini terbentuk dari pengalaman panjang hidup bersama alam. Generasi muda kini jarang mengenalnya.

6. Kegiatan bebersih sungai sebagai tradisi kolektif

Ilustrasi bebersih sungai (Freepik/jcomp)

Di Jawa, Sumatra, dan Bali dulu ada tradisi rutin membersihkan sungai dan saluran air sebagai kegiatan komunal atau mirip gotong royong saat panen. Kerja bakti ini memastikan bantaran sungai tetap terbuka dan aliran gak terhambat.

Saat budaya ini hilang, sampah dan sedimentasi meningkat, sehingga bikin banjir makin mudah terjadi.

7. Pengaturan tanam dan pengelolaan lahan berbasis musim

Ilustrasi petani di sawah (Freepik/freepik)

Dulu, petani di beberapa daerah menanam dengan mengikuti siklus air, sehingga permukaan tanah tetap punya daya serap yang baik. Selain itu, ada aturan tak tertulis tentang jenis tanaman musim hujan, rotasi tanaman untuk menjaga struktur tanah, hingga membuka lahan tanpa merusak vegetasi penahan air.

Kini, banyak pola tanam seragam dan intensif yang mengurangi kemampuan tanah menyerap air.

Mengandalkan teknologi saja, seperti drainase, tanggul, pompa air, peringatan cuaca, gak akan cukup jika kita terus menggusur ruang resapan, menutup hutan kecil, dan membiarkan bangunan tanpa memperhatikan karakter lingkungan. Kearifan lokal bukan sekadar romantisasi masa lalu, melainkan adaptasi yang dirancang dengan pemahaman mendalam terhadap alam.

Dengan mengintegrasikan kearifan lokal dengan teknologi modern, kita bisa membangun ketahanan yang jauh lebih tangguh terhadap bencana sekaligus menjaga kelestarian lingkungan.

Karena di tengah ancaman curah hujan ekstrem, urbanisasi cepat, dan perubahan iklim, bukan beton semata yang menyelamatkan, melainkan kearifan leluhur dan kesadaran kolektif yang terus dilestarikan.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.

Editorial Team