Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
ilustrasu afirmasi positif yang keliru (pexels.com/RDNE Stock project)

Intinya sih...

  • Afirmasi positif mengabaikan kondisi emosional

  • Afirmasi terlalu berorientasi pada hasil akhir

  • Afirmasi diucapkan tanpa pemahaman yang kritis

Tidak semua afirmasi positif bekerja seperti yang dibayangkan. Sering kali kalimat-kalimat yang dimaksudkan untuk memotivasi justru membuat seseorang merasa lebih buruk, terutama saat tidak selaras dengan kenyataan hidup yang sedang dihadapi. Banyak orang mengira bahwa mengucapkan hal-hal manis kepada diri sendiri akan otomatis menyembuhkan rasa cemas atau rendah diri, padahal kenyataannya tidak sesederhana itu.

Afirmasi positif memang bisa membantu membentuk pola pikir yang lebih sehat, tetapi jika disampaikan dengan cara yang salah, dampaknya bisa berbalik arah. Alih-alih membangun kekuatan, afirmasi yang keliru justru menambah beban karena memaksa seseorang merasa bahagia padahal sedang tidak baik-baik saja. Berikut lima ciri afirmasi positif yang keliru dan bikin mental makin drop.

1. Afirmasi mengabaikan kondisi emosional yang ada

ilustrasi afirmasi positif (pexels.com/Leeloo The First)

Ketika seseorang memaksakan diri berkata "Aku bahagia" di tengah kondisi emosional yang sedang kacau, otak bisa menangkap sinyal yang justru bertolak belakang. Kalimat tersebut terasa palsu karena tidak ada kesesuaian antara apa yang diucapkan dan apa yang dirasakan. Hal ini bisa membuat perasaan bersalah atau tidak cukup baik justru makin kuat.

Alih-alih merasa terangkat, seseorang jadi mempertanyakan kenapa afirmasi tidak berhasil. Padahal yang keliru bukan dirinya, tapi metode yang tidak mempertimbangkan kondisi psikologis saat itu. Afirmasi yang baik seharusnya mengakui emosional terlebih dahulu, baru kemudian diarahkan ke tahap penyembuhan secara perlahan. Keselarasan antara ucapan dan emosi adalah kunci agar afirmasi bekerja secara efektif.

2. Afirmasi terlalu berorientasi pada hasil akhir

ilustrasi afirmasi positif (pexels.com/Gerd Altmann)

Kalimat seperti "Aku pasti sukses besar" sering kali terdengar memotivasi, tetapi bisa menimbulkan tekanan tersendiri. Afirmasi semacam ini mengabaikan proses dan menjadikan hasil akhir sebagai satu-satunya tolok ukur keberhasilan. Saat realita tidak sejalan dengan ucapan, yang muncul bukan semangat, melainkan kecemasan dan keraguan.

Proses menuju keberhasilan membutuhkan pengakuan terhadap langkah-langkah kecil, bukan semata hanya harapan besar. Ketika afirmasi terlalu berfokus pada hasil, individu cenderung mengabaikan kerja keras yang sebenarnya menjadi fondasi utama. Afirmasi semacam ini bisa menjebak dalam mentalitas instan dan memupuk rasa gagal yang tidak perlu setiap kali hasil tak sesuai ekspektasi.

3. Afirmasi diucapkan tanpa pemahaman yang kritis

ilustrasi afirmasi positif (pexels.com/Jorge Urosa)

Banyak afirmasi dipakai secara otomatis tanpa memahami maknanya. Misalnya, mengatakan "Aku pantas dicintai" tanpa benar-benar memahami bagaimana rasa cinta itu bekerja dalam relasi antarmanusia. Kalimat afirmatif jadi terdengar kosong karena tidak punya dasar keyakinan yang kuat. Ucapan ini menjadi semacam repetisi yang tidak punya makna pribadi.

Afirmasi akan lebih kuat jika dirangkai dari pengalaman atau nilai yang diyakini. Bukan sekadar mengulang-ulang kutipan yang populer di media sosial, tapi membentuk kalimat yang benar-benar menggambarkan apa yang ingin diperbaiki atau disadari. Tanpa refleksi, afirmasi hanyalah suara kosong yang tidak membekas secara emosional.

4. Afirmasi mengandung tekanan terselubung

ilustrasi afirmasi positif (pexels.com/Mike Murray)

Beberapa afirmasi justru mengandung harapan yang menekan. Kalimat seperti "Aku harus selalu kuat" tampak positif di permukaan, namun implikasinya adalah tidak boleh merasa lemah. Afirmasi tersebut bisa menciptakan tekanan batin yang bertentangan dengan kenyataan bahwa setiap orang punya batas dan berhak merasa lelah.

Afirmasi semacam ini bisa membuat seseorang menutupi rasa rapuhnya demi menjaga citra kuat. Bukannya menjadi bentuk penyemangat, afirmasi malah menutup ruang bagi pemrosesan emosi yang sehat. Afirmasi sebaiknya membuka ruang emosi itu, bukan menguncinya.

5. Afirmasi memaksakan standar positif

ilustrasi afirmasi positif (pexels.com/Anna Tarazevich)

Banyak afirmasi menyampaikan standar kebahagiaan yang seragam. Misalnya, "Aku bahagia karena hidupku sempurna" adalah kalimat yang mengasumsikan bahwa hidup ideal harus bebas masalah. Padahal, setiap orang memiliki versi kebahagiaannya masing-masing. Kalimat afirmatif yang terlalu umum justru bisa membuat seseorang merasa jauh dari standar tersebut.

Dalam jangka panjang, afirmasi semacam ini bisa memicu perbandingan sosial yang menyakitkan. Seseorang mulai merasa bahwa kebahagiaannya tidak valid karena tidak sesuai dengan narasi umum. Padahal, afirmasi terbaik adalah yang menyentuh pengalaman pribadi, memberi ruang untuk ketidaksempurnaan, dan menguatkan dalam bentuk yang kontekstual.

Memahami batas antara afirmasi yang menguatkan dan afirmasi yang menekan sangat penting dalam menjaga kesehatan mental seseorang. Bukan sekadar kata-kata manis karena ada afirmasi positif yang keliru dan bikin mental makin drop. Dengan kesadaran, kejujuran, dan empati terhadap diri sendiri, afirmasi bisa benar-benar menjadi jembatan menuju keseimbangan batin yang sehat dan berkelanjutan.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.

Editorial Team