Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
ilustrasi memberi kritik ke rekan kerja (pexels.com/Yan Krukau)
ilustrasi memberi kritik ke rekan kerja (pexels.com/Yan Krukau)

Dalam kehidupan sehari-hari, kritikan sering terasa lebih mudah keluar dari mulut dibandingkan dengan kata-kata apresiasi. Saat melihat kesalahan sekecil apapun, reaksi spontan kebanyakan orang adalah mengomentari kekurangan itu. Sementara ketika ada hal positif, sering kali hal tersebut dianggap wajar sehingga terlewatkan tanpa ucapan pujian. Fenomena ini bukan hal asing, karena hampir semua orang pernah mengalaminya, baik sebagai pemberi kritik maupun penerima.

Menariknya, kebiasaan ini gak hanya terjadi di lingkungan kerja atau sekolah, tapi juga dalam lingkup pertemanan bahkan keluarga. Padahal apresiasi sederhana bisa berdampak besar terhadap kepercayaan diri dan motivasi seseorang. Sayangnya, banyak orang merasa lebih nyaman menyoroti kekurangan dibanding mengakui kelebihan. Kenapa bisa begitu? Berikut lima alasan yang membuat kritik terasa lebih gampang diucapkan daripada apresiasi.

1. Fokus pada hal negatif lebih dominan

ilustrasi menerima kritik (pexels.com/Yan Krukau)

Otak manusia secara alami cenderung memberi perhatian lebih besar pada hal-hal negatif. Fenomena ini dikenal sebagai negativity bias, yaitu kecenderungan mengingat kesalahan atau kekurangan lebih lama dibanding keberhasilan. Akibatnya, saat seseorang melihat sesuatu yang tidak sesuai ekspektasi, otak langsung bereaksi lebih cepat untuk menyorotinya. Proses ini membuat kritikan jadi lebih mudah keluar tanpa pertimbangan panjang.

Sebaliknya, hal-hal positif sering dianggap biasa saja sehingga gak terlalu menonjol di ingatan. Misalnya, saat teman selalu tepat waktu, perilaku itu terlihat normal dan jarang dipuji. Tetapi sekali saja dia terlambat, orang langsung mengkritik dengan berbagai komentar. Pola semacam ini menunjukkan betapa kuatnya pengaruh fokus pada hal negatif dalam interaksi sosial.

2. Apresiasi sering dianggap lebih canggung

ilustrasi apresiasi kerja (pexels.com/Theo Decker)

Mengucapkan apresiasi kadang terasa lebih sulit karena dianggap terlalu berlebihan atau menimbulkan kesan gak natural. Banyak orang merasa aneh ketika harus memberi pujian secara langsung, apalagi jika hubungan sosialnya gak terlalu dekat. Rasa sungkan ini sering membuat pujian hanya tersimpan dalam pikiran tanpa benar-benar terucap. Akhirnya, orang lebih memilih diam atau malah mengeluarkan kritik ketika ada celah.

Di sisi lain, kritik justru terasa lebih ringan karena sudah menjadi kebiasaan dalam percakapan sehari-hari. Komentar negatif sering dipandang sebagai bentuk kejujuran atau bahkan kepedulian. Padahal sebenarnya, apresiasi pun bisa disampaikan dengan cara yang tulus tanpa harus terkesan dibuat-buat. Sayangnya, kebiasaan mengkritik lebih sering dipelihara dibanding membiasakan diri untuk mengapresiasi.

3. Kritik dipandang sebagai bentuk kontrol sosial

ilustrasi pemimpin overcontrol (pexels.com/MART PRODUCTION)

Dalam banyak situasi, kritik sering dianggap sebagai alat untuk menjaga standar atau aturan bersama. Ketika ada perilaku yang menyimpang, komentar negatif terasa wajar sebagai pengingat agar orang tersebut kembali ke jalurnya. Karena alasan ini, mengkritik jadi terlihat lebih penting dibanding memberi apresiasi. Orang merasa punya legitimasi untuk menegur ketimbang mengucapkan pujian.

Apresiasi, di sisi lain, sering dianggap gak mendesak. Pujian lebih dilihat sebagai bonus, bukan kebutuhan utama dalam komunikasi. Padahal, apresiasi juga punya fungsi sosial yang sama pentingnya, yaitu memperkuat hubungan dan mendorong orang untuk terus berbuat baik. Sayangnya, persepsi bahwa kritik lebih bernilai membuat apresiasi sering terabaikan begitu saja.

4. Budaya yang lebih menghargai kekurangan daripada keberhasilan

ilustrasi pemimpin overcontrol (pexels.com/Jonathan Borba)

Dalam beberapa budaya, menyoroti kesalahan dianggap lebih bermanfaat daripada memberikan pujian. Sejak kecil, banyak orang terbiasa menerima komentar negatif dari guru, orangtua, atau lingkungan sekitar. Misalnya, ketika nilai bagus dianggap wajar, tapi saat nilai jelek langsung ditegur keras. Pola pendidikan seperti ini membuat kritik lebih melekat dalam keseharian.

Ketika dewasa, kebiasaan itu terbawa dalam interaksi sosial. Orang lebih sigap mencari kesalahan ketimbang menghargai pencapaian. Pujian malah kadang dipandang berlebihan atau dianggap membuat orang terlena. Akibatnya, apresiasi jadi jarang diucapkan meski manfaatnya sangat besar untuk menjaga semangat dan rasa percaya diri.

5. Kritik memberi rasa superior, apresiasi butuh kerendahan hati

ilustrasi pemimpin overcontrol (pexels.com/Pavel Danilyuk)

Memberikan kritik seringkali memberi rasa lebih unggul bagi pemberinya. Dengan menyoroti kekurangan orang lain, seseorang bisa merasa lebih pintar, lebih tahu, atau lebih benar. Hal ini secara gak langsung memunculkan kepuasan tersendiri, karena posisi dirinya terlihat lebih tinggi dibanding yang dikritik. Sensasi ini membuat kritik terasa menyenangkan meskipun sering menyakitkan bagi penerimanya.

Sebaliknya, memberi apresiasi menuntut kerendahan hati. Seseorang harus rela mengakui kelebihan orang lain tanpa merasa terancam atau tersaingi. Gak semua orang siap melakukan hal itu, karena mengapresiasi berarti menaruh orang lain dalam posisi istimewa. Rasa sungkan atau gengsi inilah yang membuat apresiasi lebih jarang diucapkan dibanding kritik.

Mengkritik memang terasa lebih gampang, tapi dampaknya sering meninggalkan luka yang gak terlihat. Apresiasi justru bisa menumbuhkan semangat, mempererat hubungan, dan menciptakan suasana yang lebih positif. Jika kritik dianggap perlu untuk mengingatkan, apresiasi juga sama pentingnya untuk menguatkan.

Mulai sekarang, gak ada salahnya melatih diri untuk lebih banyak mengucapkan apresiasi sederhana. Sebab, satu kata positif bisa memberi pengaruh besar yang mungkin gak pernah disadari sebelumnya. Jadi, seimbanglah dalam berbicara, kritikan tetap ada, tapi apresiasi jangan pernah hilang.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.

Editorial Team