Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
ilustrasi chef sedang menyiapkan hidangan (pexels.com/Ivan Samkov)

Intinya sih...

  • Restoran mewah menolak aplikasi pesan antar karena menganggap pengalaman makan sebagai bagian dari produk, yang tak bisa dipindahkan ke kotak makanan.

  • Presentasi visual makanan yang artistik dan presisi tidak dapat dipertahankan dalam kotak, sehingga reputasi restoran mewah bisa terganggu jika menggunakan layanan pesan antar.

  • Restoran mewah ingin menjaga eksklusivitas pelayanan langsung dan branding mereka dengan tidak hadir di aplikasi pesan antar, serta menghindari promosi diskon massal yang bisa merusak citra mereka.

Di era serba cepat dan praktis seperti sekarang, layanan pesan antar makanan menjadi hal yang lumrah. Bahkan restoran-restoran kecil hingga warung pinggir jalan pun kini bergantung pada layanan ini demi menjangkau pelanggan lebih luas.

Namun, berbeda halnya dengan restoran mewah. Alih-alih ikut tren digitalisasi kuliner, mereka justru memilih untuk tidak hadir di aplikasi pesan antar. Meski terdengar kontra produktif, keputusan ini sebenarnya sangat strategis dan penuh pertimbangan mendalam.

Lalu, apa sebenarnya alasan di balik sikap eksklusif ini? Apakah semata-mata soal gengsi, atau ada hal lain yang lebih fundamental? Berikut adalah sembilan alasan utama mengapa restoran mewah enggan bergabung dalam layanan pesan antar.

1. Pengalaman makan adalah bagian dari produk

ilustrasi makan di restoran (unsplash.com/Pablo Merchán Montes)

Bagi restoran mewah, makanan bukan sekadar santapan, melainkan juga bagian dari pengalaman. Dari penyambutan oleh pelayan yang terlatih, atmosfer ruangan, hingga iringan musik lembut, semua dirancang menciptakan suasana yang tak bisa dipindahkan ke kotak makanan.

Jika makanan dibungkus dan dikirim, elemen-elemen seperti plating artistik, suhu ideal, dan sentuhan akhir dari chef akan hilang. Akibatnya, kualitas keseluruhan yang ingin ditawarkan restoran akan menurun drastis, dan itu mencederai reputasi mereka.

2. Presentasi tak bisa dipertahankan dalam kotak

ilustrasi plating makanan restoran (pexels.com/alleksana)

Ciri khas restoran mewah adalah penyajian visual makanan yang artistik dan presisi. Dari penataan daun mikro hingga tetesan saus yang ditata milimetris, semua itu tidak akan selamat di perjalanan ojek online.

Makanan yang sampai di rumah pelanggan kemungkinan besar sudah tidak berbentuk seperti yang dihidangkan di meja restoran. Untuk restoran biasa, ini bukan masalah besar. Tapi bagi restoran mewah yang mengedepankan estetika, hal ini bisa menjadi bencana reputasi.

3. Menu yang kompleks dan sensitif

ilustrasi seorang chef menyajikan makanan (pexels.com/ELEVATE)

Menu di restoran mewah seringkali melibatkan bahan-bahan yang sensitif terhadap waktu dan suhu. Bahan tertentu hanya bisa dikonsumsi dalam keadaan hangat atau dalam hitungan menit setelah dimasak, seperti foie gras, sashimi premium, atau risotto.

Mengemas makanan-makanan semacam ini ke dalam wadah plastik atau kertas bukan hanya menurunkan kualitasnya, tapi juga berisiko menciptakan pengalaman makan yang buruk di rumah. Padahal bagi restoran mewah, satu kesan buruk bisa sangat mahal harganya.

4. Standar kualitas yang sulit dikontrol

ilustrasi makan di restoran (pexels.com/Jep Gambardella)

Saat makanan dikirim lewat kurir pihak ketiga, kontrol terhadap kecepatan, suhu, dan penanganan akan lepas dari tangan restoran. Mereka tidak tahu apakah makanan diletakkan miring, terguncang, atau bahkan tertunda karena pesanan lain di rute yang sama.

Bagi restoran mewah yang menjunjung tinggi konsistensi, ini adalah risiko besar. Lebih baik tidak menjual sama sekali lewat delivery daripada mempertaruhkan pengalaman pelanggan yang tak sesuai standar mereka.

5. Tidak ingin terkait promosi diskon massal

ilustrasi aplikasi pesan-antar di ponsel (pexels.com/Nataliya Vaitkevich)

Aplikasi pesan antar identik dengan promo, diskon, dan voucher yang mendorong pembelian impulsif. Restoran mewah tidak bermain di segmen ini karena mereka bukan menjual “murah”, tapi menjual nilai eksklusif dan kualitas tinggi.

Terlibat dalam ekosistem diskon bisa menurunkan persepsi merek. Sekali restoran terlihat menurunkan harga atau ikut promo ramai-ramai, citra mewah yang sudah dibangun dengan mahal bisa terancam luntur.

6. Strategi eksklusivitas dan branding

ilustrasi dua orang chef restoran (pexels.com/Elle Hughes)

Banyak restoran mewah justru menjaga agar mereka tidak terlalu “terlihat” di mana-mana. Tidak semua restoran ingin viral atau ramai, sebagian memilih untuk tetap eksklusif dan hanya diketahui oleh kalangan tertentu.

Dengan tidak hadir di aplikasi pesan antar, restoran mewah menjaga aura misterius dan eksklusifnya. Ini adalah strategi branding tersendiri, karena di dunia kemewahan, kadang yang sulit diakses justru terasa lebih berharga.

7. Margin keuntungan tidak menarik

ilustrasi aplikasi pesan antar (pexels.com/Nataliya Vaitkevich)

Platform pesan antar biasanya memotong komisi dari setiap transaksi. Untuk restoran biasa, ini mungkin masih bisa diakali dengan menaikkan harga. Namun bagi restoran mewah, menaikkan harga bisa merusak perhitungan detail dalam pengalaman pelanggan.

Selain itu, bahan makanan premium dan metode masak yang rumit sudah memakan biaya tinggi. Menyisihkan margin untuk platform delivery tidak ekonomis bagi mereka, apalagi jika harus mengorbankan kualitas.

8. Risiko penyalahgunaan dan pemalsuan

ilustrasi hidangan di restoran (pexels.com/Pixabay)

Dengan hadirnya foto menu dan nama restoran di aplikasi, ada risiko pihak tidak bertanggung jawab mencatut nama restoran mewah untuk menjual versi “palsu” dari makanannya. Untuk melindungi reputasi dan menghindari kebingungan konsumen, beberapa restoran memilih untuk tidak tampil sama sekali. Absennya mereka dari aplikasi adalah bentuk pengamanan terhadap nama baik dan orisinalitas.

9. Ingin menjaga eksklusivitas pelayanan langsung

ilustrasi makan di restoran (pexels.com/Ron Lach)

Restoran mewah berinvestasi besar dalam pelatihan staf dan manajemen pelayanan. Semua interaksi, dari cara menyajikan anggur hingga menjelaskan menu, adalah bagian dari pengalaman yang mereka ingin kontrol sepenuhnya.

Dengan layanan pesan antar, elemen ini hilang. Mereka tak bisa menyampaikan keramahan, keahlian sommelier, atau kesopanan pelayan dalam membentuk momen makan. Oleh karena itu, mereka lebih fokus pada pelayanan langsung di tempat.

Meskipun banyak restoran berlomba-lomba hadir di ranah digital dan layanan pesan antar, restoran mewah justru mengambil langkah sebaliknya. Ini bukan berarti mereka ketinggalan zaman, tetapi justru karena mereka memahami nilai dari pengalaman yang mereka tawarkan.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.

Editorial Team