ilustrasi natal (pexels.com/Element5 Digital)
Dilansir National Today, tradisi perayaan Malam Natal memiliki akar sejarah yang terhubung dengan budaya Yahudi. Hal ini merujuk pada Kisah Penciptaan dalam Kitab Kejadian, yang menggambarkan bahwa satu hari dimulai pada malam hari dan berakhir keesokan paginya. Pola inilah yang kemudian memengaruhi budaya Kristen dalam menandai peristiwa kelahiran Yesus pada malam hari.
Pada malam tersebut, umat Kristen merayakannya dengan berbagai kegiatan, seperti mengikuti ibadah khusus dan melaksanakan tradisi gereja lainnya. Namun, di luar makna religiusnya, Malam Natal juga dipengaruhi oleh kepercayaan dan tradisi pagan di beberapa negara, terutama di wilayah Skandinavia.
Di negara-negara Skandinavia, ada keyakinan lama bahwa roh orang yang telah meninggal akan kembali mengunjungi rumah mereka pada Malam Natal. Karena itu, masyarakat setempat menyalakan lilin, merapikan meja, serta menyiapkan hidangan melimpah sebagai penyambutan simbolis bagi “tamu” dari dunia roh. Mereka juga membersihkan kursi-kursi dari debu. Saat pagi tiba, kursi-kursi tersebut diusap dengan kain putih bersih. Jika ditemukan noda atau kotoran, hal itu dianggap sebagai tanda bahwa ada kerabat yang baru saja meninggal dan datang duduk di sana pada malam sebelumnya.
Di luar berbagai keyakinan tersebut, Malam Natal juga dipahami secara lebih universal sebagai momen hangat untuk berkumpul bersama keluarga dan orang-orang terdekat. Banyak orang memaknainya dengan makan malam bersama, menghias rumah, membungkus hadiah, hingga menonton film bertema Natal sebagai bagian dari tradisi merayakan kebersamaan.