Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
potret percakapan (freepik.com/freepik)
potret percakapan (freepik.com/freepik)

Intinya sih...

  • Ucapan soal berat badan atau penampilan seharusnya tidak dianggap sepele, karena bisa melukai secara psikologis dan memperkuat standar kecantikan sempit.

  • Komentar tentang warna kulit, gaya rambut, atau pakaian juga bisa menjadi microaggression yang merugikan dan mengabaikan keberagaman keindahan alami.

  • Penilaian terhadap rambut dan tekanan untuk menggunakan makeup juga termasuk dalam microaggression yang memperkuat standar penampilan sempit.

Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Penampilan sering jadi bahan komentar yang terkesan sepele, padahal bisa menyisakan dampak psikologis mendalam. Meski terdengar “baik” atau dianggap basa-basi, komentar-komentar tersebut sering termasuk dalam microaggression, sindiran halus yang menyampaikan stereotip atau diskriminasi secara terselubung. Banyak orang gak sadar bahwa komentar yang dilontarkan soal berat badan, warna kulit, gaya rambut, atau cara berpakaian, justru memperkuat standar kecantikan sempit yang menyudutkan banyak pihak.

Microaggression soal penampilan bisa datang dari siapa saja, bahkan dari teman dekat atau keluarga sendiri. Sayangnya, karena sering dianggap hal lumrah atau tradisi, bentuk-bentuk microaggression ini terus dibiarkan dan diwariskan. Penting untuk menyadari pola-pola ucapan yang merugikan ini supaya bisa mengubah cara bersikap. Yuk, kenali beberapa bentuk microaggression yang paling sering terjadi terkait penampilan, dan kenapa harus berhenti melakukannya

1. “Kok gendutan, sih?” atau “Wah, sekarang kurusan!”

ilustrasi percakapan (freepik.com/shurkin_son)

Ucapan ini terdengar seperti komentar biasa atau bahkan pujian, tapi sebenarnya bisa melukai. Menyebut perubahan berat badan seseorang seolah itu pencapaian atau kegagalan, memperkuat stigma bahwa tubuh ideal harus kurus. Komentar semacam ini gak mempertimbangkan faktor kesehatan, kondisi emosional, atau alasan personal seseorang mengalami perubahan berat badan. Alih-alih memberikan dukungan, ucapan itu bisa membuat seseorang merasa gak nyaman dengan tubuhnya sendiri.

Microaggression seperti ini juga memicu perasaan malu dan cemas, terutama bagi mereka yang sedang berjuang dengan gangguan makan atau masalah kesehatan mental. Tubuh seseorang bukan bahan diskusi umum, dan perubahan fisik bukan indikator nilai diri. Mengomentari penampilan secara langsung seringkali gak membantu, justru memperkuat tekanan sosial terhadap standar tubuh tertentu. Lebih baik memberikan apresiasi atas kualitas non-fisik yang jauh lebih berarti.

2. “Kamu cantik kalau kulitmu lebih putih”

ilustrasi percakapan (freepik.com/gpointstudio)

Komentar ini terdengar sangat umum di masyarakat yang masih memuja warna kulit terang sebagai simbol kecantikan. Ucapan seperti itu jelas-jelas mengandung bias warna kulit (colorism) yang menempatkan kulit gelap di posisi lebih rendah. Meski niatnya terdengar “baik,” kenyataannya justru menanamkan ide bahwa penampilan seseorang akan lebih berharga jika memenuhi standar tertentu. Ini bukan hanya menyakitkan, tapi juga mengabaikan keberagaman keindahan alami.

Mengungkapkan microaggression ini menunjukkan bagaimana warisan kolonial dan standar barat masih meresap dalam cara pandang masyarakat. Komentar ini memperkuat pandangan diskriminatif yang sudah seharusnya ditinggalkan. Warna kulit adalah bagian dari identitas dan budaya seseorang, bukan sesuatu yang harus diperbaiki. Keindahan gak ditentukan oleh tingkat kecerahan kulit, tapi oleh karakter dan keberanian menjadi diri sendiri.

3. “Kok pakaiannya kayak cowok?” atau “Pakai rok dong, kan cewek!”

ilustrasi percakapan (freepik.com/freepik)

Penilaian berdasarkan pakaian sering digunakan untuk menghakimi gender seseorang. Saat seseorang memilih gaya berpakaian yang dianggap gak sesuai dengan norma gender tradisional, komentar seperti itu bisa terasa sangat merendahkan. Ucapan ini memaksakan batasan kaku pada ekspresi diri yang seharusnya bebas dan sah-sah saja. Padahal, pakaian adalah media ekspresi personal, bukan indikator kepribadian atau identitas mutlak.

Microaggression jenis ini memperkuat stereotip bahwa maskulinitas dan feminitas harus ditampilkan dengan cara tertentu. Ini sangat merugikan, terutama bagi mereka yang sedang mengeksplorasi identitas atau ingin merasa nyaman dengan diri sendiri. Harusnya gak ada orang yang merasa diawasi atau dikoreksi hanya karena pilihan gaya berpakaian. Kebebasan berekspresi itu hak semua orang, bukan hak istimewa bagi mereka yang tampil sesuai standar umum.

4. “Rambutmu lebat banget, kapan disisir?”

ilustrasi percakapan (freepik.com/freepik)

Komentar soal rambut juga sering terdengar merendahkan meskipun dibungkus nada bercanda. Banyak orang gak sadar bahwa rambut alami, terutama rambut keriting atau afro, sering jadi sasaran microaggression. Saat rambut yang gak lurus dianggap berantakan, kurang rapi, atau perlu diubah agar “lebih baik”, itu mencerminkan bias terhadap standar rambut barat. Komentar ini bisa membuat orang merasa gak percaya diri dengan rambut alaminya.

Rambut adalah bagian dari warisan budaya dan identitas personal. Gaya rambut seseorang gak seharusnya jadi bahan candaan atau evaluasi. Mengomentari rambut dengan nada meremehkan berarti menyepelekan keberagaman bentuk rambut yang seharusnya dirayakan. Biarkan orang memilih cara menata rambutnya tanpa harus menghadapi tekanan untuk menyesuaikan diri dengan norma tertentu.

5. “Wajahmu natural, gak mau coba makeup?”

potret percakapan (freepik.com/freepik)

Sering dianggap pujian, tapi ucapan ini mengandung nada menyudutkan karena menyiratkan ada yang kurang dari wajah tanpa makeup. Komentar semacam ini menekan seseorang untuk tampil sesuai harapan estetika umum, bahkan jika itu gak sesuai kenyamanan pribadi. Setiap orang punya hak untuk memilih menggunakan atau gak menggunakan makeup tanpa harus dijustifikasi. Ketika pilihan alami dianggap kurang, itu menunjukkan bahwa standar penampilan masih terlalu sempit.

Microaggression ini menyiratkan bahwa tampil “sempurna” adalah sebuah keharusan, bukan pilihan. Padahal makeup seharusnya jadi bentuk ekspresi, bukan tuntutan. Menyiratkan bahwa seseorang akan terlihat lebih baik dengan makeup berarti mengabaikan kenyamanan dan pilihan personal mereka. Lebih penting menghargai ekspresi autentik daripada memperkuat tekanan sosial soal penampilan ideal.

Menyadari microaggression dalam kehidupan sehari-hari adalah langkah awal untuk menciptakan ruang sosial yang lebih inklusif dan suportif. Komentar soal penampilan yang terdengar “ringan” seringkali membawa dampak besar dalam membentuk citra diri dan rasa percaya diri seseorang. Saat mulai peka terhadap kata-kata yang dilontarkan, hubungan sosial bisa tumbuh dengan lebih sehat dan saling menghargai. Mari mulai memilih kata dengan lebih bijak, karena setiap ucapan punya efek yang gak selalu terlihat dari luar.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.

Editorial Team