Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
ilustrasi bencana alam Korea Selatan
ilustrasi bencana alam Korea Selatan (pexels.com/Jimmy Liao)

Intinya sih...

  • Menjarah dalam Islam hukumnya haram

  • Penjarahan atau mengambil sesuatu yang bukan miliknya, secara tegas disebutkan sebagai tindakan batil, yakni perbuatan merusak dan tidak dibenarkan dalam Islam.

  • Hukum pencurian menurut ijma ulama termasuk dosa besar.

  • Bagaimana jika menjarah dalam keadaan darurat?

  • Ketentuan Allah ketat, namun terdapat kelonggaran apabila terpaksa melakukannya dalam kondisi darurat. Bukan karena menginginkannya dan tidak pula secara berlebihan, maka tidaklah berdosa.

Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Dalam ajaran Islam, mengambil, memanfaatkan, atau menguasai sesuatu yang bukan miliknya merupakan perbuatan yang dilarang dan diharamkan. Islam mengajarkan bahwa kepemilikan seseorang atas suatu benda atau yang lainnya dilindungi, tidak boleh diambil tanpa kerelaan orang yang memliki.

Termasuk penjarahan, sebab perbuatan ini termasuk dalam mengambil sesuatu yang bukan miliknya. Secara tegas, Allah melarang perubatan tersebut dilakukan bagi orang Muslim.

Namun, bagaimana hukumnya jika melakukan penjarahan dalam situasi darurat atau kondisi bencana alam? Artikel ini akan memberikan pandangan terkait penjarahan di situasi darurat seperti bencana alam agar menjadi pertimbangan bagi pembaca.

1. Menjarah dalam Islam hukumnya haram

ilustrasi bencana alam (pexels.com/Faruk Tokluoğlu)

Penjarahan atau mengambil sesuatu yang bukan miliknya, secara tegas disebutkan sebagai tindakan batil, yakni perbuatan merusak dan tidak dibenarkan dalam Islam. Hal ini sebagaimana disebutkan dalam beberapa firman Allah, di antaranya surah Al-Baqarah dan An-Nisa.

"Janganlah kamu makan harta di antara kamu dengan jalan yang batil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada para hakim dengan maksud agar kamu dapat memakan sebagian harta orang lain itu dengan jalan dosa, padahal kamu mengetahui." (QS. Al-Baqarah: 188)

Selain dituliskan dalam surah Al-Baqarah, hukum menjarah harta orang lain juga disebutkan dalam surah An-Nisa.

"Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan harta sesamamu dengan cara yang batil (tidak benar), kecuali berupa perniagaan atas dasar suka sama suka di antara kamu. Janganlah kamu membunuh dirimu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu." (QS. An-Nisa ayat 28)

Sehingga, secara tegas dalam Islam disebutkan bahwa mengambil harta yang bukan miliknya atau melakukan penjarahan adalah tindakan yang tidak dibenarkan dan dilarang. Hukum pencurian menurut ijma ulama termasuk dosa besar.

Ulama besar seperti Imam Nawawi (Syarh Muslim) dan Imam Ibn Hajar (Fathul Bari) menegaskan, bahwa harta tetap terjaga statusnya meskipun pemiliknya sedang terkena musibah.

2. Bagaimana jika menjarah dalam keadaan darurat?

ilustrasi bencana alam (pexels.com/Wilson Malone)

Lalu, bagaimana jika berada di situasi darurat, misalnya ketika terjadi bencana alam? Akan tetapi, dalam Al-Qur'an terdapat beberapa pengecualian dalam kondisi darurat berdasarkan dalil Al-Qur'an.

"Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan atasmu bangkai, darah, daging babi, dan (hewan) yang disembelih dengan (menyebut nama) selain Allah. Akan tetapi, siapa yang terpaksa (memakannya) bukan karena menginginkan dan tidak (pula) melampaui batas, sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang." (QS.An-Nahl ayat 115)

Meski ketentuan Allah ketat, namun terdapat kelonggaran apabila terpaksa melakukannya dalam kondisi darurat. Bukan karena menginginkannya dan tidak pula secara berlebihan, maka tidaklah berdosa.

Akan tetapi, Arif Lukmana menyebutkan, perlu diingat bahwa kaidah fiqih menyebutkan kondisi darurat membolehkan yang dilarang, serta darurat itu dibatas sesuai kadarnya. Hal ini yang penting sebagai catatan.

Dalil kaidahnya yang dikutip dari laman Muslim.or.id, adalah sebagai berikut:

"Dan sesungguhnya Allah telah menjelaskan kepada kalian apa yang Dia haramkan, kecuali yang terpaksa kalian makan.”

3. Menjarah dalam hukum Islam haram, namun jika mengancam nyawa diperbolehkan

Ilustrasi banjir di Sumatra Utara

Menurut pendapat Ibnu Mas'ud, larangan memakan harta tetap berlaku dan tidak akan dihapus hingga Hari Kiamat. Sebab, memakan harta yang batil mencangkup segala bentuk perolehannya tidaklah sah, baik dengan cara zalim seperti perampasan dan penjarahan maupun tipu daya.

Akan tetapi, kelaparan yang terjadi di wilayah yang terkena bencana alam di mana terjadi kelaparan yang parah hingga mengancam nyawa seseorang, maka pemilik harta sebaiknya adalah memberi harta tersebut secara gratis. Wajib bagi pemilik makanan untuk menyerahkan hartanya secara gratis karena baginya terdapat kewajiban untuk menjaga jiwa orang lain.

Nida Alif Nurabdillah, Guru Pendidikan Agama Islam di SMK N 2 Mandiraja, menyebutkan, jika dalam kondisi darurat dan kesulitan mendapat makanan dengan cara apa pun, sementara apabila ia tidak memakan suatu apapun nyawanya akan terancam, maka diperbolehkan untuk mengambil seperlunya. Artinya, diperbolehkan hanya untuk mencukupi kebutuhan makanan.

Ia menekankan, dalam situasi darurat diperbolehkan mengambil yang sekiranya hanya untuk mencukupi rasa lapar. Ketika makanan tersebut berlebih, maka hukumnya menjadi haram karena dianggap berlebihan dan akan dijatuhi hukuman potong tangan.

"Hukumnya boleh, kalau untuk makan itu cukup untuk kenyang. Terus (ini berlaku) untuk kebutuhan lain selain makanan, misalnya pembalut untuk perempuan. Kalau menjarah yang sifatnya aji mumpung atau mencari keuntungan, itu tetap tidak diperbolehkan, hukumnya tetap haram. Jadi ukurannya yang sekiranya dia bertahan hidup," ujarnya.

Perbedaan pandangan di kalangan ulama diharapkan dapat menjadi pertimbangan yang bijak dalam mengambil keputusan. Semoga kamu tetap berada dalam lindungan Allah SWT.

Editorial Team