ilustrasi suasana di kantor (pexels.com/Tima Miroshnichenko)
Di media sosial, kita sering terpapar opini yang dikemas keren tapi miskin substansi. Misalnya, “Self love itu artinya kamu boleh memutuskan siapa pun semau kamu”, padahal, itu bisa jadi kedok untuk menghindari tanggung jawab emosional. Opini yang didukung banyak like atau komentar belum tentu logis atau etis. Kita jadi mudah tertipu oleh retorika, bukan isi.
Akal sehat sering kalah oleh popularitas dan narasi yang menggoda. Padahal, hal benar kadang terdengar membosankan atau tidak viral. Kamu harus belajar berpikir kritis, bukan cuma reaktif. Jangan biarkan opini publik menentukan arah hatimu. Jadilah orang yang bisa memfilter informasi, bukan yang mudah terprovokasi hanya karena “semua orang setuju.”
Mayoritas bukan jaminan kebenaran. Kita diajari sejak kecil untuk bersikap sopan, tapi jarang diajari cara menjadi bijak dalam keramaian yang salah arah. Dunia ini penuh dengan kebiasaan yang sudah terlalu lama tidak dipertanyakan. Justru karena itu, kamu perlu jadi pribadi yang berani menguji setiap norma. Jangan takut terlihat berbeda jika perbedaanmu punya dasar yang kuat.
Kamu tidak dilahirkan untuk jadi fotokopi sosial. Bertumbuh artinya menyaring, bukan menelan mentah-mentah semua hal yang dianggap lumrah. Kritis bukan berarti sinis, tapi tanda bahwa kamu tidak gampang dibentuk oleh tekanan luar. Masyarakat bisa ramai dalam hal yang keliru, tapi kamu tetap bisa memilih berdiri tegak dengan nilai yang benar. Ingat, kebenaran sejati gak butuh banyak pengikut, cukup satu hati yang sadar dan berani berpikir jernih.