Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
Eklin Amtor de Fretes, penerima SATU Indonesia Awards 2020 untuk bidang pendidikan (instagram.com/kak_eklin)

“Bagi saya dongeng memiliki nilai-nilai baik yang dapat membuat perilaku atau budi pekerti anak-anak tumbuh lebih luhur. Melalui dongeng, kita bisa mendidik dan mengajari anak-anak tanpa harus menggurui,” tutur Eklin.

Gugusan pulau, laut biru, dan kekayaan alam melimpah menjadikan wajah Maluku bak kepingan surga. Meski tampak damai, realita konflik sosial tidak dapat dihindari di tengah masyarakatnya. Pada 1999 hingga 2022, konflik etnis dan agama menjadi sejarah kelam yang mengakibatkan kematian, penderitaan manusia, perusakan harta benda, hingga pemaksaan atau konversi agama.

Konflik telah lama berlalu, tapi memberikan dampak pada generasi penerus. Kisah kelam tersebut kembali dituturkan oleh orang tua dan orang dewasa kepada para pemuda serta anak-anak.

Hal itu diperparah dengan adanya segregasi wilayah, membuat masyarakat harus tinggal di lingkungan yang homogen. Sehingga, kisah yang sampai pada generasi penerus hanya berdasarkan satu sudut pandang. Kemudian berdampak pada segregasi pemikiran para pemuda dan anak-anak.

Rangkaian peristiwa di atas menggugah hati Eklin Amtor de Fretes untuk menghadirkan kedamaian di tengah masyarakat. Ia ingin menyatukan kembali saudara-saudaranya melalui aksi pendidikan perdamaian. 

1. Perjalanan menembus sekat segregasi akibat konflik di masa lalu

Eklin Amtor de Fretes bersama relawan di Rumah Dongeng Damai (instagram.com/kak_eklin)

Seorang pemuda asal Maluku yang akrab disapa Eklin mendapatkan akreditasi dari Living Values Education Program (LVEP) pada 2016. Living Values Education Program merupakan program pendidikan nilai untuk anak-anak, dewasa muda, dan orang tua. Berbekal sebagai trainer LVEP, ia bertekad menebar benih perdamaian di tengah masyarakat Maluku.

Pada 2017, Eklin membuat Youth Interfaith Peace Camp (YIPC) dengan mengumpulkan sekitar 30-40 anak muda lintas iman untuk berkemah selama 3 hari. Bukan kemah biasa, mereka belajar tentang pendidikan menghidupkan nilai dan perdamaian.

Perjalanan mewujudkan niat baiknya untuk menembus sekat segregasi tidak mudah. Eklin harus mendanai sendiri untuk melakukan aktivitas perdamaian itu. Ia rela menjadi pedagang bunga dan cokelat, yang hasilnya digunakan untuk pelaksanaan kegiatan.

Eklin juga menyadari bahwa perlu bekerja sama dengan lebih banyak orang untuk menebar benih perdamaian. Kemudian, ia merekrut para pemuda dan mewadahinya dalam Komunitas Jalan Menuju Perdamaian (JMP).

Sebagian perjalanannya merawat perdamaian ke berbagai penjuru daerah Eklin ditemani oleh para pemuda JMP. Mereka tidak hanya mengunjungi daerah terpencil, tapi juga daerah terdampak bencana. Mereka menebar nilai perdamaian, menghibur, dan membantu berupa kebutuhan pokok dan hadiah untuk anak-anak.

2. Niat yang kuat membuat Eklin belajar mendongeng secara autodidak

Editorial Team

Tonton lebih seru di