ilustrasi larangan (pexels.com/Monstera)
Dilansir laman Museum Sumpah Pemuda, Kongres Pemuda Kedua tidak hanya dihadiri oleh pemuda Indonesia saja melainkan turut dihadiri petinggi pemerintah kolonial. Soegondo Djojopoespito sebagai pemimpin kongres merasa khawatir jika W.R. Soepratman akan melantunkan lagu buatannya itu dengan penuh semangat nasionalisme di hadapan petinggi pemerintah kolonial. Namun, bagi perwakilan pejabat pemerintah kolonial yang hadir saat itu, alunan biola karya W.R. Soepratman itu terdengar biasa dan dianggap tidak ada yang istimewa.
Lagu Indonesia Raya semakin dikenal oleh banyak orang setelah Kongres Pemuda Kedua tersebut. Sehingga banyak partai politik atau kongres selanjutnya yang turut menyanyikan lagu Indonesia Raya dalam setiap pertemuan.
Lagu yang awalnya dianggap biasa saja oleh pemerintah kolonial, akhirnya mulai menjadi ancaman karena lagu tersebut kerap dinyanyikan dalam perkumpulan-perkumpulan pemuda. Puncaknya terjadi pada tahun 1930, dimana pemerintah kolonial Belanda menyatakan lagu Indonesia Raya berbahaya karena dianggap mengganggu ketertiban umum. Lagu Indonesia Raya akhirnya dilarang dinyanyikan dan diperdengarkan di hadapan umum.