Ilustrasi firaun (pexels.com/AXP Photography)
Putra dari Amenhotep III, Akhenaten diberi nama Amenhotep IV. Namun saat lahir mengubah namanya sesuai dengan keyakinan monoteistiknya yang radikal. Arti nama barunya, "Dia yang melayani Aten", adalah untuk menghormati apa yang dia yakini sebagai satu-satunya dewa yang benar, yakni Aten, Dewa Matahari.
Keyakinan religius Akhenaten begitu kuat sehingga ia memindahkan ibu kota Mesir dari Thebes ke Amarna dan menamainya Akhetaten, "Cakrawala Aten". Amarna bukanlah tempat yang dikenal sebelum pemerintahan Akhenaten. Pada saat yang sama ia mengganti namanya, ia memerintahkan pembangunan ibu kota baru.
Akhenaten juga dianggap firaun yang cukup kejam. Mengutip The Guardian, penelitian yang berfokus pada pemakaman Amarna antara 2006 dan 2013, proyek penggalian ini telah membuka jendela penelitian baru tentang kehidupan dan kematian masyarakat Mesir. Penemuannya menggambarkan kemiskinan, kerja keras, kesehatan yang buruk, cedera, dan kematian yang relatif dini.
Analisis kerangka yang ditemukan terdapat 90 persen memiliki perkiraan usia antara tujuh hingga dua puluh lima tahun, dengan mayoritas diperkirakan lebih muda dari lima belas tahun. Pada dasarnya, ini adalah tempat pemakaman untuk remaja.
Mayoritas anak berusia 15-25 tahun mengalami semacam cedera traumatis dan sekitar 10 persen mengalami osteoartritis. Bahkan di bawah 15-an, 16 persen ditemukan memiliki fraktur tulang belakang bersama dengan berbagai kelainan lain yang biasanya dikaitkan dengan beban kerja yang berat.
Penjelasan yang paling tidak menyenangkan dari proyek ini adalah tampaknya kerangka-kerangka ini merupakan tenaga kerja anak-anak dan remaja yang melakukan kerja keras. Tidak adanya orang dewasa atau yang lebih tua menyimpulkan dua kemungkinan. Pertama, pekerja dibebaskan atau ditugaskan kembali ketika mereka mencapai kedewasaan penuh. Kedua, kondisi kehidupan yang berarti bahwa tidak ada pekerja yang hidup lebih dari dua puluh lima tahun.