Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
suasana Natal
ilustrasi suasana Natal (pexels.com/Tim Douglas)

Intinya sih...

  • Umat Natal merasa tidak nyaman dengan perdebatan ucapan selamat

  • Kembalikan ke masing-masing orang untuk mengucapkan atau tidak

  • Bicarakan secara selektif dan bijak, hindari perdebatan yang tak ada arah jelas

Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Indonesia adalah bangsa yang besar. Ada banyak suku dan agama yang berbaur dalam masyarakat. Penting sekali untuk negara sekaya ini selalu menjaga kerukunan. Termasuk kerukunan antarumat beragama.

Semestinya masyarakat Indonesia tidak perlu lagi memperdebatkan hal-hal seputar keyakinan. Sebab sifatnya sangat pribadi, pelaksanaan ibadahnya tak mengganggu ibadah umat lain, dan antarumat sudah hidup berdampingan sejak dahulu kala. Semua itu karunia besar yang harus dijaga.

Sayangnya, menjelang Natal di media sosial kerap dijumpai silang pendapat mengenai pemberian ucapan selamat dari penganut agama lain. Sebaiknya kamu hindari perdebatan ucapan selamat Natal. Diam dan segeralah berlalu buat lima alasan berikut.

1. Bisa bikin umat yang merayakan Natal merasa tidak nyaman

ilustrasi keluarga (pexels.com/RDNE Stock project)

Setiap hari raya keagamaan sangat penting bagi penganutnya. Maka tidak elok apabila umat agama lain justru meributkannya. Ini seperti tindakan yang merusak suasana bahagia sekaligus khidmat umat agama lain.

Tetaplah menjadi bagian dari umat yang tenang di tengah perbedaan. Sama halnya dengan kamu sendiri pasti ingin bisa merayakan hari keagamaan sesuai kepercayaanmu tanpa gangguan apa pun. Bahkan sekalipun gangguan itu berupa berbagai opini yang tidak secara langsung tertuju ke pribadimu.

Hargai seluruh kenalanmu yang tengah berada dalam suasana sukacita Natal. Kamu juga dapat menegur orang-orang yang terus saja memperdebatkan terkait boleh atau tidaknya kasih ucapan Natal. Ingatkan mereka jika masih mau mendengarmu.

2. Kembali ke masing-masing orang saja akan mengucapkan atau tidak

ilustrasi suasana Natal (pexels.com/cottonbro studio)

Orang-orang yang terlibat perdebatan seputar ucapan selamat Natal pasti punya pendapat masing-masing. Namun, membicarakannya hanya akan membuat setiap orang bertambah keras dengan pandangannya. Lebih baik mengembalikannya ke tiap pribadi saja.

Toh, rata-rata orang yang mengucapkan selamat Natal meski beda keyakinan juga sudah dewasa. Mereka memiliki dasar atas pilihan sikapnya dan mampu mempertanggungjawabkannya. Situasi tiap orang pun tak sama.

Ada orang yang dari kecil hingga besar berada di komunitas satu agama. Ada juga orang dengan perbedaan keyakinan kental mewarnai pertemanannya. Bahkan keluarganya mempunyai kepercayaan yang berlainan.

Makin heterogen lingkungan seseorang, makin mungkin ucapan selamat Natal atau hari raya lain menjadi hal biasa. Malah ini dianggap penting buat merawat kerukunan antarumat beragama. Apa pun pilihan orang lain, kamu tak perlu sibuk menghakimi.

3. Jika ingin membahasnya selektif soal tempat dan lawan bicara

ilustrasi merayakan Natal (pexels.com/Thirdman)

Bukan artinya kamu sama sekali dilarang membicarakan tentang boleh atau tidak mengucapkan selamat hari raya buat penganut agama lain. Pada dasarnya, apa saja boleh didiskusikan. Dari diskusi juga kerap lahir titik temu yang mempersatukan seluruh perbedaan pandangan.

Akan tetapi, pastikan kamu melakukannya secara bijak. Jangan membicarakan topik sensitif di sembarang tempat. Apalagi media sosial yang digunakan oleh orang-orang dengan beragam latar belakang.

Sekalipun sebagian dari mereka tak meninggalkan komentar, pasti banyak yang membaca status serta tanggapan akun-akun lain. Diskusikan masalah sensitif begini di forum yang tertutup. Juga pastikan semua orang yang ada di dalamnya tak menganut agama yang berbeda.

4. Orang yang merayakan Natal juga gak minta dikasih ucapan selamat

ilustrasi membungkus kado Natal (pexels.com/Liza Summer)

Kalimat seperti di atas kerap diutarakan di media sosial oleh orang yang sudah muak dengan perdebatan ucapan selamat Natal. Jangan menganggapnya angin lalu. Kalimat ini benar adanya.

Perdebatan berkepanjangan dan di forum terbuka seakan-akan menyudutkan umat yang merayakan Natal. Meski tentu saja, tujuan sesungguhnya barangkali sejumlah orang ingin menasihati penganut agama yang sama dengannya. Akan tetapi, begitulah perdebatan mengenai apa pun dapat menjelma pedang bermata dua.

Semua orang yang masih berkaitan dengan topik perdebatan bisa merasa terluka. Lagi pula, sulit sekali untuk siapa pun mengendalikan arah perdebatan apabila emosi tiap orang makin meningkat. Tidak perlu ada perdebatan mengenai sesuatu yang tak seorang pun memintamu buat melakukannya.

5. Untuk apa melanjutkan perdebatan yang terjadi hampir tiap tahun?

ilustrasi suasana Natal (pexels.com/Tim Douglas)

Perdebatan mengenai ucapan selamat Natal sudah muncul di media sosial beberapa tahun belakangan. Biasanya dimulai sekitar 20 Desember hingga pergantian tahun. Namun, dari tahun ke tahun pula tak ada arah yang jelas.

Akhirnya tetap kembali ke pribadi masing-masing seperti dalam poin sebelumnya. Membahasnya kembali di tahun ini hanya membuang-buang energi. Di samping risiko bikin penganut agama lain tersinggung.

Kehidupan bersama yang harmonis lebih penting buat dijaga daripada perdebatan soal ucapan selamat hari raya untuk penganut agama yang berbeda. Baik orang yang berdebat maupun pendengar atau penontonnya sama-sama lelah. Jangan sampai kalian semua frustrasi lalu bertengkar seputar agama yang amat sensitif.

Tidak hanya mengenai Natal. Segala perdebatan terkait agama lain hendaknya tidak lagi dilakukan. Hindari perdebatan ucapan selamat Natal dan rajut indahnya kebersamaan dalam perbedaan dengan tetap saling menghormati. Baik menghormati penganut keyakinan yang berbeda maupun sesama penganut satu agama, tapi lain pandangan.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.

Editorial Team