ilustrasi pendampingan KAKG (youtube.com/SATU Indonesia)
“Main core KAKG adalah advokasi hukum. Namun, jika ada kasus yang masuk minta pendampingan psikologis, akan dibantu refer ke mitra psikolog. Tapi, jadinya tidak ada monitoring progresnya. Akan tetapi, proses koordinasi ini juga dapat muncul ketika korban membutuhkan pendampingan hukum dan psikolog secara bersamaan,” jelas pemenang penghargaan SATU Indonesia Award 2022 di bidang kesehatan tersebut.
Menurut hasil survei Indonesia Judicial Research Society, ada beberapa alasan mengapa korban kekerasan seksual enggan melaporkan kejadian yang dialaminya. Di antaranya adalah karena takut (33,5 persen), malu (29 persen), tidak tahu melapor ke mana (23,5 persen), dan merasa bersalah (18,5 persen).
Memahami sensitivitas tersebut, KAKG yang mulanya dibentuk untuk layanan konsultasi hukum gratis, akhirnya dikembangkan menjadi lebih serius. Veda beserta anggota lainnya, menjadikan KAKG sebagai layanan pro bono, yaitu layanan pengabdian masyarakat dari profesi advokat.
Melalui layanan ini, korban kekerasan seksual dapat mengakses bantuan hukum maupun nonhukum, seperti layanan psikologis atau medis sesuai yang dibutuhkannya. Namun, fokus utama KAKG adalah menyediakan bantuan hukum, mulai dari konsultasi, pendampingan, hingga penyelesaian perkara di persidangan. Akan tetapi, jika diperlukan bantuan nonhukum, KAKG juga siap membantu meneruskan ke mitra terkait.
Yang menjadi sangat menarik dari keberadaan KAKG adalah program ini sangat berorientasi pada korban, terutama pada pemulihan psikologisnya. Mendengarkan kebutuhan dan keinginan korban menjadi concern utamanya, yang mana ini juga sejalan dengan slogan yang diusungnya “Sahabat Korban Kekerasan Seksual”.
“You are not gonna be alone. You gonna be with me, with all of us. Kami ada di sini semua. Kami akan temenin sampai selesai saat kamu siap”, sebuah pesan hangat yang disampaikan oleh pendiri KAKG di tengah wawancara kami beberapa waktu lalu.
Selain itu, ia juga menjelaskan, siapa saja dapat mengakses layanan konsultasi dan pendampingan dari KAKG. Akan tetapi dalam layanan pro bono, program ini diprioritaskan untuk memberikan manfaat kepada kelompok rentan tertentu, seperti:
- korban anak;
- disabilitas;
- ekonomi menengah ke bawah;
- korban dengan kerentanan khusus, misalnya minoritas seksual; dan
- korban konflik.
Saat dihubungi melalui wawancara virtual pada Sabtu (3/12/2022), perempuan yang kini merupakan Founder dan Director KAKG ini, mengatakan, sejauh ini sudah ada sekitar 150 aduan kasus yang masuk dan ditangani oleh KAKG. Beberapa di antaranya sudah berhasil dimenangkan di tingkat peradilan, dan beberapa lainnya diselesaikan secara nonhukum.
Tak berhenti di sini. Seolah tak ingin setengah-setengah memperjuangkan isu kekerasan seksual, KAKG juga sedang berupaya untuk terus aktif menyuarakan kebijakan-kebijakan antikekerasan seksual di berbagai organisasi yang lebih terstruktur, seperti perusahaan atau instansi.
“Sekali dua kali mencoba memengaruhi kebijakan-kebijakan di perusahaan atau lembaga berkaitan dengan SOP kalau ada kekerasan seksual. Lagi didorong supaya tidak hanya menunggu kebakaran terus untuk dipadamkan, tetapi ada pencegahan dari awal, ungkapnya ketika menjelaskan harapan-harapan KAKG ke depannya.
Bak peribahasa, sekali mendayung dua tiga pulau terlampaui. Justitia tak hanya membuka layanan bantuan, tetapi juga mendorong lahirnya produk-produk antikekerasan seksual dari berbagai lembaga. Harapannya agar kasus ini bisa dicegah semaksimal mungkin, tanpa menunggu merebak terlebih dahulu. Bahkan, kalau bisa tidak akan ada lagi kasus serupa di masa depan.