KAKG, Oasis Segar di Tengah Kalutnya Korban Kekerasan Seksual

“Baju kamu sih terlalu terbuka”
“Makanya jangan genit!”
Sentimen-sentimen sinis serupa masih sering terlontar saat ada yang mengalami tindak kekerasan seksual. Terlebih jika korbannya adalah perempuan. Tak mendapati simpati, justru menjadi pihak yang tersudutkan. Bagaimana hal ini akhirnya tidak membuat mereka enggan untuk melaporkan dan mencari bantuan?
Budaya patriarki yang masih berkembang di masyarakat kita cenderung menggiring opini bahwa kekerasan seksual adalah kesalahan korbannya. Seolah-olah itu terjadi karena “kelalaian” mereka sendiri yang tak bisa menjaga diri, mudah tergoda, mau sama mau, hingga berbagai dalih lainnya.
1. Menarik ke belakang kehidupan selama pandemik COVID-19
Kamu mungkin masih ingat, bagaimana 2 tahun terakhir ini banyak kasus kekerasan seksual bermunculan di media massa, pun media sosial. Kalau diibaratkan, mungkin seperti pertumbuhan jamur di musim penghujan.
Satu per satu kasus naik ke permukaan. Mirisnya, kasus-kasus tersebut muncul sebagai upaya korban untuk mencari keadilan. Mereka lebih “nyaman” bercerita di media sosial, ketimbang membuat laporan ke kepolisian. Ya, viralitas adalah cara yang dinilai lebih konkret untuk menemukan titik terang kasus kekerasan seksual.
Selama pandemik COVID-19, orang dipaksa di rumah, bekerja dari rumah, bersekolah dari rumah. Secara mengejutkan, fenomena ini juga dibarengi dengan meningkatnya tindakan kekerasan seksual, terutama di ranah domestik, seperti kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) dan kekerasan berbasis gender online (KBGO). Sering kali, perempuan yang rentan menjadi sasarannya.
Berdasarkan data Komnas Perempuan yang disediakan dalam Catatan Tahunan (CATAHU) tahun 2021, dilaporkan ada sekitar 299.911 kasus kekerasan terhadap perempuan sepanjang 2020. Jumlah ini terdiri dari kekerasan terhadap istri, kekerasan terhadap anak perempuan, kekerasan dalam pacaran, dan kekerasan terhadap pekerja rumah tangga. Tak hanya itu, kasus KBGO juga dilaporkan meningkat tajam, yakni hampir 400 persen di tahun tersebut.
Sayangnya, tingginya kasus kekerasan seksual yang terjadi, seperti tak diimbangi dengan proses penyelesaian yang sigap dan “terniati”. Justru malah dibumbui dengan intimidasi-intimidasi. Kasus tak dibereskan, luka baru pun didapatkan.
Hal inilah yang kemudian mendorong gerakan “spill the tea” atau viralitas di media sosial ketika ada kasus kekerasan seksual. Fenomena ini semakin lama semakin membudaya yang dianggap paling ampuh untuk memberikan sanksi instan kepada pelaku tindak kekerasan seksual.