Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
ilustrasi toko buku
ilustrasi toko buku (pexels.com/cottonbro studio)

Intinya sih...

  • Ketertarikan pada ide lebih besar daripada komitmen membacanya

  • Buku menjadi simbol dari versi diri yang diidealkan

  • Distraksi digital membuat fokus membaca menurun

  • Perfeksionisme menghambat kebiasaan membaca

Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Ada satu kebiasaan yang diam-diam dialami oleh banyak pencinta literasi yaitu membeli buku tanpa benar-benar membacanya. Rak buku kian penuh, koleksi terus bertambah, namun sebagian besar masih terbungkus rapi dalam plastik. Kadang alasannya sederhana, entah terlalu sibuk, terlalu lelah, atau sekadar senang memiliki. Meskipun terkesan sepele, kebiasaan ini sebenarnya cukup umum dan mencerminkan dinamika psikologis yang menarik.

Fenomena ini menunjukkan bahwa membeli buku tidak selalu berarti seseorang malas membaca. Ada kalanya, keputusan membeli justru didorong oleh kebutuhan emosional atau keinginan untuk memperbaiki diri. Buku yang belum terbaca bukanlah tanda kegagalan, melainkan potret kecil tentang bagaimana manusia berinteraksi dengan aspirasi dan kenyataan. Berikut empat alasan di balik kebiasaan beli buku tapi enggan membacanya.

1. Ketertarikan pada ide lebih besar daripada komitmen membacanya

ilustrasi mencari buku yang dibutuhkan (pexels.com/Yan Krukau)

Momen ketika kamu melihat buku dengan sampul menarik dan sinopsis yang menggugah, sering kali menciptakan rasa antusias. Buku tersebut seolah menjanjikan pengalaman baru, baik dalam bentuk pengetahuan, penyembuhan batin, maupun inspirasi hidup. Kamu membayangkan bagaimana hidupmu bisa berubah setelah membacanya, lalu tanpa ragu memutuskan untuk membeli.

Namun, semangat itu sering kali memudar begitu sampai di rumah. Rutinitas, distraksi, dan rasa lelah membuat buku itu tertinggal di rak. Pada titik ini, kamu menyadari bahwa membaca tidak hanya membutuhkan minat, tetapi juga komitmen. Tertarik pada ide buku memang mudah, tetapi meluangkan waktu untuk benar-benar menelusuri setiap halamannya adalah bentuk kedisiplinan yang tidak selalu mudah dilakukan.

2. Buku menjadi simbol dari versi diri yang diidealkan

ilustrasi membawa buku (pexels.com/RDNE Stock project)

Sebagian orang membeli buku bukan semata karena ingin membaca, melainkan karena ingin menjadi sosok yang “terlihat” gemar membaca. Buku dijadikan simbol aspirasi, seolah keberadaannya di rak sudah cukup untuk mencerminkan sisi intelektual, bijak, atau reflektif dari diri seseorang. Melihat deretan buku di rumah memberi kepuasan tersendiri, seakan-akan diri sedang tumbuh menuju versi yang lebih baik.

Sayangnya, ilusi ini tidak cukup untuk mewujudkan perubahan. Buku yang hanya menjadi pajangan tidak akan memperluas wawasan atau memperdalam pemahaman. Aspirasi itu perlu diwujudkan dalam tindakan nyata, entah itu membaca, merenung, atau mengaplikasikan isinya dalam kehidupan. Jadi, membeli buku bisa tetap menjadi langkah awal yang baik, asalkan diikuti dengan kemauan untuk membuka dan memahaminya.

3. Distraksi digital membuat fokus membaca menurun

ilustrasi main HP (pexels.com/Michael Burrows)

Di era digital seperti sekarang, perhatian kita sering terpecah oleh berbagai bentuk hiburan instan. Dari video pendek hingga media sosial yang tak pernah sepi, semua berlomba menawarkan kepuasan cepat. Setelah seharian bekerja atau belajar, otak yang lelah cenderung memilih hal yang ringan dan merasa hal tersebut sulit didapat dari aktivitas membaca buku.

Lambat laun, prioritas pun bergeser. Buku tetap tergeletak di tempat yang sama, menunggu waktu luang yang seolah tidak pernah datang. Padahal, masalahnya bukan pada minat membaca yang hilang, melainkan pada perubahan cara otak mencari stimulasi. Untuk mengatasinya, cobalah menjadwalkan waktu khusus untuk membaca, meski hanya 10–15 menit per hari. Dengan konsistensi kecil seperti ini, kebiasaan membaca perlahan bisa kembali terbentuk.

4. Perfeksionisme menghambat kebiasaan membaca

ilustrasi membaca (pexels.com/Anete Lusina)

Beberapa orang hanya ingin membaca ketika suasana terasa “sempurna” seperti ruangan tenang, waktu luang panjang, dan suasana hati sedang baik. Ketika kondisi itu tidak terpenuhi, mereka memilih menunda, berharap waktu yang lebih ideal akan datang. Sayangnya, waktu sempurna itu jarang benar-benar muncul, sehingga buku terus menunggu tanpa pernah tersentuh.

Padahal, membaca tidak harus dilakukan dalam keadaan sempurna. Justru, membiarkan diri membaca satu atau dua halaman di tengah kesibukan bisa menjadi cara terbaik untuk menikmati prosesnya. Dengan menurunkan ekspektasi, kamu memberi ruang bagi pengalaman membaca yang lebih ringan, alami, dan bebas tekanan. Kadang, kenikmatan membaca muncul justru saat dilakukan tanpa banyak perencanaan.

Kebiasaan beli buku tapi enggan membacanya bukanlah kesalahan yang perlu disesali. Setiap orang memiliki ritme dan cara sendiri untuk menikmati literasi. Bisa jadi, buku-buku yang masih tersegel itu sedang menunggu waktunya dibaca, saat kamu benar-benar siap, tenang, dan membutuhkan pesan di dalamnya. Nikmati prosesnya, karena mungkin kelak halaman pertama yang kamu buka akan memberi makna yang tepat pada waktu yang juga tepat.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.

Editorial Team