ilustrasi perempuan menangis (pexels.com/Andrea Piacquadio)
Namun, ratapan berbeda dengan tangisan biasa. Meratap di sini merujuk pada tangisan berlebihan seseorang yang disertai perasaan tidak rela dan keluhan. Sehingga, para ahli fikih sepakat bahwa tangisan terhadap jenazah tidak begitu saja menjadi haram. Seseorang boleh menangisi jenazah jika dalam tahap wajar.
Dalam sebuah riwayat Nabi Muhammad SAW, diceritakan bahwa Rasulullah juga meneteskan air matanya tatkala melepaskan kematian putranya, Ibrahim. Berikut sisi riwayatnya:
“(Tidak masalah menangisi jenazah tanpa meratap, merobek kantong, dan memukul pipi). Seseorang boleh menangisi orang lain baik sebelum maupun sesudah wafatnya. Kebolehan menangisi seseorang sebelum wafat didasarkan pada riwayat sahabat Anas RA, ia berkata, ‘Kami menemui Rasulullah SAW, sementara Ibrahim, putra beliau, sedang menghembuskan nafas terakhirnya. Saat itu tampak air hangat mengalir, yaitu meluncur dari kedua mata Rasulullah SAW’,” (Lihat Taqiyyuddin Abu Bakar Al-Hishni, Kifayatul Akhyar, [Beirut, Darul Fikr: 1994 M/1414 H], juz I, halaman 137-138)
Dalam riwayat lain juga dijelaskan:
“Sedangkan, kebolehan menangisi seseorang setelah wafat juga didasarkan pada hadis riwayat sahabat Anas RA, ia berkata, ‘Kami menyaksikan pemakaman putri Rasulullah SAW, aku melihat kedua matanya berlinang air mata. Sementara Rasulullah SAW duduk di atas makam putrinya’,” (Lihat Taqiyyuddin Abu Bakar Al-Hishni, Kifayatul Akhyar, [Beirut, Darul Fikr: 1994 M/1414 H], juz I, halaman 138)