Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
ilustrasi toko buku
ilustrasi toko buku (unsplash.com/Becca Tapert)

Intinya sih...

  • Membeli buku memberi rasa senang, identitas, dan ilusi pencapaian tanpa perlu langsung membaca.

  • Buku sering berperan sebagai dekorasi, simbol intelektualitas, atau koleksi, bukan bahan bacaan.

  • Kesibukan, distraksi, dan terlalu banyak pilihan membuat buku menumpuk lebih cepat daripada waktu untuk membaca.

Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Banyak orang punya kebiasaan unik: rajin beli buku, tapi jarang benar-benar membacanya. Fenomena ini begitu umum sampai ada istilah khusus dari Jepang, yaitu tsundoku alias kebiasaan membeli bahan bacaan lalu membiarkannya menumpuk tanpa tersentuh. Untuk memahami kenapa hal ini terjadi, kita perlu melihat faktor psikologis, sosial, hingga budaya yang memengaruhi cara orang membeli buku dan membangun kebiasaan membaca.

Pada dasarnya, membeli buku memang terasa menyenangkan. Rasanya seperti berinvestasi pada masa depan yang lebih cerdas, lebih produktif, atau lebih berwawasan. Namun, kenyataannya, gak semua buku yang dibeli berakhir dibaca. Kenapa bisa begitu?

1. Rasa senang saat memiliki buku

ilustrasi berbelanja di toko buku (pexels.com/Abby Chung)

Salah satu alasan paling dasar adalah soal kepemilikan. Buku sering kali dianggap benda estetik: sampul yang cantik, tekstur kertas yang halus, sampai aroma khas tinta yang menenangkan. Semua itu menciptakan pengalaman sensorik yang menyenangkan.

Selain itu, buku juga menjadi simbol pengetahuan dan budaya. Memiliki banyak buku sering dianggap sebagai tanda bahwa seseorang berwawasan, cerdas, atau punya minat intelektual. Dengan kata lain, buku bukan cuma alat baca—tapi juga bagian dari identitas diri.

Membeli buku juga memberi rasa pencapaian. Rasanya seperti mengambil langkah menuju versi diri yang lebih baik: ingin belajar hal baru, mengembangkan diri, atau masuk ke dunia cerita yang berbeda. Meskipun akhirnya gak langsung terbaca, niat awal saat membeli tetap memberikan kepuasan tersendiri.

2. Buku sebagai dekorasi dan status sosial

ilustrasi buku (pexels.com/Markus Spiske)

Tak bisa dipungkiri, rak penuh buku itu terlihat keren. Banyak orang memajang buku untuk mempercantik ruangan sekaligus memberikan kesan intelektual pada tamu yang datang. Tampilan buku bisa dianggap sebagai representasi selera, pendidikan, bahkan gaya hidup seseorang.

Menariknya, buku yang dipajang di rak sering membuat orang lain otomatis menilai sang pemilik sebagai pribadi berpengetahuan luas. Penilaian ini muncul meski sebagian besar buku tersebut sebenarnya belum pernah dibaca. Ironisnya, keinginan mempertahankan citra pintar itu justru kadang menggantikan motivasi untuk benar-benar membaca isinya.

3. Terlalu sibuk dan gak punya waktu

ilustrasi toko buku (unsplash.com/Becca Tapert)

Gaya hidup modern membuat membaca bukan prioritas utama bagi banyak orang. Kesibukan kerja, urusan keluarga, kegiatan sosial, serta berbagai distraksi digital sering menyita waktu dan tenaga. Buku biasanya dibeli saat sedang bersemangat, tapi membaca membutuhkan konsentrasi dan waktu khusus, dua hal yang sering sulit disediakan. Akhirnya, jumlah buku bertambah lebih cepat daripada kemampuan membaca.

4. Mengoleksi buku sebagai hobi

ilustrasi buku (pexels.com/Pixabay)

Gak sedikit orang yang membeli buku bukan untuk dibaca, melainkan untuk dikoleksi. Penggemar buku sering berburu edisi pertama, buku langka, atau salinan bertanda tangan. Dalam kasus ini, nilai buku berada pada aspek koleksi, bukan fungsi membacanya. Budaya fandom juga mendorong seseorang membeli seluruh seri atau edisi spesial sebagai bentuk kebanggaan komunitas, meskipun kecepatan membaca gak sejalan dengan semangat mengoleksi.

5. Terlalu banyak pilihan

ilustrasi perempuan memilih buku (unsplash.com/Alexei Maridashvili)

Di era digital, pilihan buku melimpah tanpa batas. Dari berbagai genre, kategori, sampai format, semuanya mudah ditemukan. Namun, banyaknya pilihan ini justru bisa membuat bingung atau ragu.

Orang sering membeli buku karena tren, rekomendasi, atau sekadar tertarik dengan sampulnya. Namun, setelah buku menumpuk, muncul dilema: “Baca yang mana dulu?” Kebingungan ini membuat minat membaca malah meredup.

Buku memang melambangkan pengetahuan dan identitas diri, tetapi sering kalah bersaing dengan distraksi dan aktivitas lain sehari-hari. Hobi membeli buku memang bagus, tapi alangkah baiknya kalau ini juga dilengkapi hobi membaca buku sampai selesai.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.

Editorial Team

EditorYudha ‎