Rosiana Alim, Founder Komunitas Menuju Dua Garis (Dok. Istimewa)
Seperti kisah Rosie tadi, permasalahan infertilitas ini tidak hanya memengaruhi kondisi emosional. Tetapi, ia ditempa dengan keadaan yang melatihnya untuk mengembangkan diri.
Salah satunya dengan memperbaiki komunikasi dan kekompakan sebagai suami istri. Menurutnya, permasalahan infertilitas adalah bentuk menyelaraskan diri dengan suami.
“Infertilitas itu mengubah cara pandang kita tentang hidup, pasangan, dan pernikahan. Kalau kita bisa melewatinya, kita bisa jadi orang dengan mindset yang lebih kaya, lho,” tuturnya.
Rosie juga menambahkan, bahwa masalah itu ada untuk mengasah hubungan. Kita dituntut untuk saling bertukar pikiran dan keluar dari zona nyaman. Ada banyak proses yang terjadi dari menerima, memaafkan, hingga memahami.
“Semua berawal dari pola pikir, ya. Beberapa pejuang terlahir dengan cacat bawaan seperti gak punya rahim atau sel telur sedikit. Lalu, kenapa jadi aib? Kamu itu gak sendiri, infertilitas juga bukan aib. Boleh bersedih tapi harus segera bangkit, karena selalu ada makna atau tujuan di balik semua yang kita alami," pungkasnya.
"Saya mencoba mengajak para pejuang dua garis untuk melihat dari sisi lain. Mungkin kamu bisa mengembangkan diri, memperbaiki hubungan, atau mungkin ada luka yang belum pulih,” ujar dosen Universitas Ciputra ini.
Layaknya besi menajamkan besi, pasangan juga harus saling menajamkan diri menjadi pribadi yang lebih baik. Harus ada kesepakatan dengan suami tentang bagaimana memandang masalah infertilitas.
Menurutnya, masalah infertilitas ini harus dimenangkan. Artinya, pikiran positif dan semangat menjalani hidup harus lebih besar daripada permasalahan yang tidak bisa kamu kontrol.
"Saya ingin mengedukasi pejuang dua garis juga bahwa kita juga harus kelola emosi, sadar diri, menerima keadaan bahwa ada atau tidaknya anak itu bukan kapasitas kita. Itu benar-benar 100 persen kedaulatan Tuhan. Jadi, jangan dibawa sedih, jangan dibawa stres akan suatu hal yang kamu sendiri gak bisa kontrol," tutup Rosie.