Ilustrasi generasi muda menulis (pexels.com/Keira Burton)
Di tengah berbagai tantangan diatas, komunitas puisi dapat menjadi wadah untuk menjaga keberlangsungan bahasa. Puisi dapat menjadi cerminan identitas dan keberagaman budaya suatu bangsa. Baik puisi klasik, modern ataupun digital, masyarakat bisa menyampaikan isu, pesan, sejarah, atau nilai-nilai luhur dari generasi ke generasi.
Keberadaan komunitas puisi bisa menjadi semacam paru-paru bagi bahasa daerah. Komunitas ini menciptakan ruang ekspresi bagi bahasa ibu untuk disampaikan secara alami dan menyenangkan. Bahasa daerah dapat dihidupkan kembali melalui format tulisan yang beragam seperti puisi maupun cerita pendek agar lebih relevan dengan zaman.
Komunitas seperti Malam Puisi, Komunitas Rabo Sore Surabaya hingga Komunitas Bele Ponuwa Gorontalo telah menjadi ruang komunikasi kultural yang hidup. Keberadaan komunitas tersebut berpotensi memperkuat ekosistem literasi, menyediakan panggung kreasi untuk bersuara antar generasi sekaligus melestarikan bahasa lewat narasi.
Dalam ilmu komunikasi, ini disebut sebagai ruang kontra-publik (counter-public sphere) yaitu ruang alternatif yang memungkinkan sebuah kelompok menyuarakan identitas dan pengalaman mereka. Komunitas puisi menjadi tempat di mana bahasa ibu bisa berbicara tanpa tekanan harus “seragam” atau “standar”.
Selain itu, setiap individu juga bisa memanfaatkan media sosial untuk menyuarakan bahasa dan budaya mereka sendiri misalnya melalui konten digital seperti: puisi video berbahasa daerah di TikTok atau juga bisa membuat musikalisasi puisi lewat Podcast. Dengan begitu, bahasa daerah bisa terhubung dengan berbagai audiens secara kreatif.