Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
ilustraai tumbuh dewasa dengan luka batin
ilustraai tumbuh dewasa dengan luka batin (pexels.com/Polina Zimmerman)

Intinya sih...

  • Rasa tidak pernah cukup meski sudah berusaha keras

  • Sulit merayakan diri karena terbiasa fokus pada kekurangan

  • Ketakutan mendalam terhadap penilaian orang lain

Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Masa kecil adalah waktu yang krusial dalam membentuk rasa percaya diri seseorang. Pengalaman yang terjadi di usia dini sering menetap hingga dewasa. Ketika anak sering dibandingkan, luka itu bisa tumbuh menjadi suara di kepala yang terus meragukan dirinya.

Banyak orang tua bermaksud memotivasi melalui cara perbandingan, tetapi mereka lupa jika dampaknya bisa menyakitkan. Tidak semua anak bisa melihat perbandingan sebagai dorongan untuk berkembang. Berikut beberapa luka orang dewasa saat kecilnya sering dibandingkan.

1. Rasa tidak pernah cukup meski sudah berusaha keras

ilustrasi merasa tidak cukup (pexels.com/Ana Bregantin)

Orang dewasa yang sering dibandingkan saat kecil cenderung merasa usahanya tidak pernah cukup. Setiap pencapaian terasa kurang karena terbayang standar tinggi yang dari kecil ditanamkan. Rasa tidak puas bukan karena kurangnya prestasi, tetapi luka lama yang belum sembuh.

Kerja keras sering dilakukan untuk menghindari penilaian buruk, bukan karena dorongan dari dalam diri. Akibatnya, proses meraih tujuan terasa melelahkan dan penuh tekanan. Bahkan saat berhasil pun, penghargaan terhadap diri sendiri sering datang terlambat.

2. Sulit merayakan diri karena terbiasa fokus pada kekurangan

ilustrasi seseorang berusaha dengan keras (pexels.com/Kampus Production)

Anak yang sering dibandingkan cenderung tumbuh dengan pola pikir yang fokus pada kekurangan. Apa pun yang dicapai terasa belum cukup jika dibandingkan dengan orang lain. Pujian menjadi terasa asing karena sejak kecil lebih sering dikritik daripada dihargai.

Akibatnya, merayakan diri sendiri terasa sulit meski sudah banyak berusaha. Prestasi yang diraih pun tampak biasa saja karena tidak pernah benar-benar dihargai dari dalam. Dalam jangka panjang, mereka sulit merasa bangga karena perhatian selalu tertuju pada apa yang kurang.

3. Ketakutan mendalam terhadap penilaian orang lain

ilustrasi memikirkan komentar orang (pexels.com/MART PRODUCTION)

Anak yang sering dibandingkan tumbuh dengan perasaan seperti terus diawasi. Saat dewasa, rasa takut akan penilaian orang lain tetap melekat. Proses interaksi yang dijalani jadi penuh beban karena lebih fokus pada kesan di mata orang lain daripada kenyamanan pribadi.

Rasa tegang itu bisa muncul dalam bentuk overthinking atau takut tampil di depan umum. Sulit merasa percaya diri karena selalu merasa kalah dibanding orang lain. Dalam hubungan sosial, keinginan untuk disukai sering lebih besar dari keberanian untuk jadi diri sendiri.

4. Jalinan relasi yang rentan karena takut dibandingkan lagi

ilustrasi kehilangan diri sendiri (pexels.com/Angelica Reyn)

Pengalaman sering dibandingkan saat kecil membuat seseorang sangat sensitif terhadap komentar yang mirip perbandingan. Dalam konteks relasi, hal itu bisa menimbulkan rasa cemas dan tidak aman. Takut dianggap kurang atau kalah dari orang lain membuat hubungan terasa tegang.

Perasaan itu mungkin tidak tampak dari luar, tetapi sangat terasa dalam hati. Kepercayaan menjadi mudah goyah dan komunikasi pun rawan disalahpahami. Akibatnya, seseorang bisa menjauh atau justru terlalu bergantung karena belum pulih dari luka lama.

5. Sulit menerima diri sepenuhnya

ilustrasi membandingkan diri dengan orang lain (pexels.com/Rafa Barros)

Saat sering dibandingkan sejak kecil, seseorang bisa tumbuh dengan perasaan bahwa dirinya tidak cukup baik. Ia jadi ingin berubah agar sesuai dengan harapan orang lain. Akibatnya, sulit menerima diri apa adanya karena merasa harus terus membuktikan nilai diri.

Untuk bertahan, banyak yang memilih menyembunyikan kekurangan atau berpura-pura kuat. Identitas pun dibentuk dari keinginan orang lain, bukan dari dalam diri sendiri. Padahal, langkah awal untuk sembuh adalah berani menerima diri secara utuh.

Luka orang dewasa saat kecilnya sering dibandingkan mungkin menetap lama, namun bukan berarti tak bisa dipulihkan. Saat kita mulai memberi ruang untuk merasa cukup, perlahan suara lama digantikan oleh penerimaan. Dari pengalaman itu, tumbuh kekuatan untuk mencintai diri sendiri.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.

Editorial Team