Maladewa, Negeri Dengan Penduduk 100 Persen Muslim yang Anti Paham Radikal

Aturan keberagaman yang dianut oleh setiap negara mempunyai keunikan masing-masing, yang bisa memberi kita pandangan tersendiri tentang kebersamaan yang diterapkan di negeri lain. Salah satunya adalah tradisi dan aturan keberagaman yang berlaku di Maladewa atau disebut Maldives dalam bahasa Inggris.
Maladewa adalah negeri kepulauan terkecil di dunia dengan populasi sekitar 400.000 orang dan terkenal sebagai negara tempat tujuan liburan mahal dengan pantai dan laut indah yang dianggap paling sempurna untuk tujuan wisata laut dunia.
Namun banyak yang tidak tahu bahwa negara ini memiliki penduduk yang 100 persen beragama Islam. Agama Islam yang mengakar sangat kuat di Maladewa, dimulai pada awal abad ke12, dimana Kesultanan Islam pertama Maladewa berdiri pada tahun 1152. Islam juga telah menjadi agama negara sejak itu dan seluruh penduduk Maladewa adalah penganut Islam Sunni.
Non Muslim dilarang menjadi warganegara dan tidak memiliki hak pilih dalam Pemilu.
Ada hal yang menyebabkan Maladewa menjadi satu-satunya negara di dunia yang warganya 100 persen Muslim. Di dalam pasal 9 ayat D Undang-undang negara menyatakan bahwa "non-Muslim tidak diperbolehkan untuk menjadi warga negara Maladewa.".
Bahkan undang-undang tahun 1997 tentang aturan pelaksanaan pemilu di Maladewa, menyebutkan bahwa hanya orang beragama Islam yang memiliki hak pilih. Hal ini bertujuan agar sistem pemerintahan dan ciri khas Islam di Maladewa tetap dapat dilestarikan.
Maladewa memperoleh kemerdekaannya dari kerajaan Inggris pada tanggal 26 Juli 1965 dan mendeklarasikan diri sebagai satu-satunya negara di dunia yang berpenduduk 100 persen muslim.
Hukum Syariah ketat diperlakukan di seluruh negeri. Namun turis memiliki pengecualian seperti dalam mengenakan baju renang bagi wanita.
Hukum Islam atau yang dikenal dengan hukum syariah atau dalam bahasa Dhivehi disebut sebagai sayriatu menjadi hukum dasar yang wajib diikuti oleh setiap warganegara Maladewa.
Pelaksanaan hukum Islam terasa sangat kental di ibukota negara itu, Male hingga ke pulau-pulau wisatanya. Toko-toko pasti ditutup 15 menit sebelum waktu shalat dan baru dibuka kembali 15 menit setelah sembahyang selesai.
Maladewa tidak anti terhadap pendatang yang berbeda keyakinan, namun anti terhadap paham radikal yang bisa merusak kebersamaan.
Namun di balik semua keunikan tersebut, Maladewa tidak anti terhadap pendatang yang berbeda keyakinan dengan mereka, karena mereka sadar semua manusia yang berbeda agama dan suku bangsa, saling membutuhkan satu sama lain.
Malah demi menjaga negara tersebut dari paham radikal, Tak ada seorang tokoh Islam pun boleh mendiskusikan Islam ke publik tanpa persetujuan pemerintah. Hanya mereka yang memiliki persetujuan dari pemerintah, dapat mengeluarkan fatwa kepada masyarakat.
Aturan seperti ini diterapkan oleh pemerintah Maladewa untuk menjaga negeri itu dari paham radikal, yang dianggap tidak sesuai dengan prinsip Muslim Maladewa yakni Islam yang moderat.