Tabu dan sensitif. Kedua hal itu masih melekat kuat di benak masyarakat Indonesia bila kita berbicara tentang edukasi kesehatan seks dan reproduksi. Budaya Indonesia yang cenderung konservatif sepertinya banyak berpengaruh terhadap rendahnya pengetahuan kesehatan seks dan reproduksi.
Jujur saja, saya sendiri yang lahir dan besar di Indonesia, baru benar-benar melek dan mau mempelajari sedikit demi sedikit tentang edukasi kesehatan seks dan reporduksi justru saat sudah tak lagi remaja. Sewaktu remaja, saya tak pernah benar-benar mendapatkan pendidikan ini secara komprehensif. Ketika saya mulai ingin membicarakannya, satu kata yang selalu dilontarkan oleh orang dewasa: "PORNO". Sejak saat itu saya berhenti untuk mencari tahu lebih dalam.
Padahal, menurut para pakar kesehatan dan juga WHO sendiri sepakat mengatakan bahwa pengetahuan dan pemahaman pendidikan seksual dan reporduksi yang komprehensif itu sangat diperlukan khususnya untuk remaja.
Mungkin para pembaca juga ada yang senasib dengan saya–telat belajar. Apa sih pentingnya edukasi kesehatan seks dan reporduksi bagi remaja? Seperti yang disampaikan oleh WHO pada laman resminya, bahwa ada berbagai masalah sosial dan kesehatan yang terjadi ketika remaja tidak dibekali oleh edukasi ini. Sebut saja pernikahan dini, kehamilan yang tak diinginkan, aborsi yang membahayakan, hingga tertular penyakit menular seksual.
Remaja adalah generasi muda yang sangat rentan terpapar informasi yang salah, tapi juga sering mendapatkan asumsi buruk dari orang dewasa ketika mereka ingin banyak belajar tentang edukasi seks dan reproduksi. Hal inilah yang memotivasi Mariana Yunita Hendriyani Opat dalam mendirikan Tenggara Youth Community, sebuah organisasi di NTT yang bergerak untuk memberikan pelayanan informasi, pendidikan, konseling dan pelayanan kesehatan reproduksi untuk remaja.