Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
ilustrasi pengguna ponsel pintar
ilustrasi pengguna ponsel pintar (Pexels.com/Ryan Lee)

Media sosial sudah eksis selama hampir 2 dekade. Selama itu pula, mereka mengalami evolusi yang signifikan. Awalnya jadi tempat menjalin koneksi dengan teman dari dunia nyata, media sosial kini berubah jadi platform yang sarat kepentingan.

Pebisnis menggunakannya untuk meraup profit. Politisi mengoptimasinya jadi tempat mengakumulasi simpatisan dan suara. Perorangan menjadikannya tempat membentuk reputasi, meraih validasi sampai penghasilan. Kini, media sosial tak sama seperti dulu. Sejumlah pengamat menjuluki era ini sebagai fase akhir media sosial (late stage social media). Apa itu dan apa saja gejala yang muncul?

1. Opini personal berubah jadi norma

ilustrasi kreator konten (Pexels.com/Photo By: Kaboompics.com)

Media sosial bisa sukses karena satu kunci: keauntetikannya. Dahulu, sebelum mereka eksis, narasi yang berkembang tersentralisasi pada beberapa pemain besar saja. Sejak media sosial hadir, siapa saja bisa membuat konten dan membuat narasi baru. Apalagi dengan algoritma yang susah ditebak seperti sekarang, kamu yang bukan siapa-siapa bisa saja viral dalam sekejap beserta narasi yang kamu tawarkan. Ini awalnya diharapkan bisa membuat kita menjalin koneksi dengan orang-orang sepemikiran.

Sayangnya, dalam level tertentu konten alternatif macam ini bisa berubah jadi toksik. Opini personal tanpa data dan penelitian yang memadai tidak seharusnya ditelan mentah-mentah dan diklaim jadi rujukan bahkan norma baru. Namun, yang terjadi saat ini, orang dengan mudahnya menggaungkan apa yang ia dengar di media sosial tanpa kroscek lebih jauh. Ini yang menjelaskan kemunculan standar media sosial, kecenderungan mendiagnosa diri sendiri (tanpa validasi ahli), budaya performatif, dan lain sebagainya. Tidak hanya menjangkiti pengguna yang kurang paham, pengguna savvy pun sering tergocek melakukan hal serupa secara sadar atau tidak.

2. Fake content merajalela, memudarnya orisinalitas dan keautentikan

ilustrasi media sosial (Pexels.com/cottonbro studio)

Kini kita juga dibanjiri konten. Jika dahulu, konten adalah sesuatu yang orisinal bahkan berharga tinggi, kini konten buatan manusia harus bersaing dengan kecerdasan buatan (AI). Disrupsi AI membuat pekerjaan kreator konten makin sulit dan tidak bermakna.

Apalagi dengan pola audiens media sosial masa kini yang haus konten berlaju cepat seiring dengan menurunnya rentang konsentrasi. Fake content dan AI generated content jadi sesuatu yang normal dan makin mudah ditemukan. Meski umumnya pengguna bisa membedakannya, tak sedikit yang ogah peduli atau masa bodoh dengan keautentikan konten-konten yang mereka konsumsi.

3. Media sosial jadi tempat yang melelahkan

ilustrasi mengabadikan momen penting lewat kamera ponsel (Pexels.com/Amar Preciado)

Media sosial juga berubah sejak opsi untuk memonetisasi konten diperkenalkan. Sejak itu, media sosial tak lebih dari platform yang melanggengkan kapitalisme. Seperti kapitalisme, media sosial pun mengisolasi kita dari kenyataan. Bukannya membuat kita merasa terhubung, kerap kali kita justru terjebak dalam ilusi dan didorong untuk terus tampil.

Ada satu konsep menarik dari buku tulisan Erving Goffman berjudul The Presentation of Self in Everyday Life (1956). Goffman menggunakan analogi drama untuk menjelaskan sikap manusia. Yakni, frontstage ketika manusia harus berhadapan dengan audiens, misal di tempat kerja atau di ranah publik. Kedua, backstage, yakni perilaku manusia ketika ia berada di ranah privat tanpa perlu memikirkan opini orang lain, sehingga bisa lebih rileks dan jadi diri sendiri.

Sejak disrupsi media sosial, manusia hampir tak bisa mengakses backstage. Dengan berada di dunia maya, entah media sosial atau aplikasi perpesanan, manusia secara tak langsung dianggap selalu ada atau punya waktu untuk berinteraksi. Segera membaca dan membalas pesan jadi kewajiban, mengunggah pencapaian dinormalisasi bahkan didorong, konsumerisme adalah sumber kebahagiaan, dan mengikuti perkembangan berita terkini adalah bukti kalau kamu tak tone-deaf. Perlahan, ketimbang jadi tempat yang menyenangkan, media sosial bisa jadi ruang yang melelahkan buat sebagian orang. Bisa jadi apa yang kita unggah berkontribusi dalam memburuknya kondisi mental orang lain. Kita tak pernah tahu.

Kini media sosial tak sama seperti dulu. Tentunya evolusi media sosial tidak bisa dihindari. Pengguna seperti kita yang dituntut lebih bijak dan berhati-hati. Sudahkah kamu menyadari dan mengantisipasinya?

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.

Editorial Team