ilustrasi mengabadikan momen penting lewat kamera ponsel (Pexels.com/Amar Preciado)
Media sosial juga berubah sejak opsi untuk memonetisasi konten diperkenalkan. Sejak itu, media sosial tak lebih dari platform yang melanggengkan kapitalisme. Seperti kapitalisme, media sosial pun mengisolasi kita dari kenyataan. Bukannya membuat kita merasa terhubung, kerap kali kita justru terjebak dalam ilusi dan didorong untuk terus tampil.
Ada satu konsep menarik dari buku tulisan Erving Goffman berjudul The Presentation of Self in Everyday Life (1956). Goffman menggunakan analogi drama untuk menjelaskan sikap manusia. Yakni, frontstage ketika manusia harus berhadapan dengan audiens, misal di tempat kerja atau di ranah publik. Kedua, backstage, yakni perilaku manusia ketika ia berada di ranah privat tanpa perlu memikirkan opini orang lain, sehingga bisa lebih rileks dan jadi diri sendiri.
Sejak disrupsi media sosial, manusia hampir tak bisa mengakses backstage. Dengan berada di dunia maya, entah media sosial atau aplikasi perpesanan, manusia secara tak langsung dianggap selalu ada atau punya waktu untuk berinteraksi. Segera membaca dan membalas pesan jadi kewajiban, mengunggah pencapaian dinormalisasi bahkan didorong, konsumerisme adalah sumber kebahagiaan, dan mengikuti perkembangan berita terkini adalah bukti kalau kamu tak tone-deaf. Perlahan, ketimbang jadi tempat yang menyenangkan, media sosial bisa jadi ruang yang melelahkan buat sebagian orang. Bisa jadi apa yang kita unggah berkontribusi dalam memburuknya kondisi mental orang lain. Kita tak pernah tahu.
Kini media sosial tak sama seperti dulu. Tentunya evolusi media sosial tidak bisa dihindari. Pengguna seperti kita yang dituntut lebih bijak dan berhati-hati. Sudahkah kamu menyadari dan mengantisipasinya?