Meninggal di Malam 1 Suro Menurut Islam, Punya Arti Khusus?

Intinya sih...
Kematian adalah ketetapan Allah, bukan pilihan hari
Yang diingat bukan waktunya, tapi amal perbuatannya
Budaya itu boleh, asal tidak menyimpang
Banyak orang Jawa percaya bahwa malam 1 Suro adalah waktu yang sakral, penuh aura mistis, dan bahkan dipercaya membawa nasib “berbeda” bagi mereka yang meninggal di malam itu. Ada yang bilang meninggal di malam 1 Suro itu pertanda baik, ada juga yang merasa takut karena suasana malam itu dianggap angker.
Tapi, bagaimana pandangan Islam terhadap hal ini? Apakah benar waktu kematian seperti malam 1 Suro membawa makna khusus secara agama? Yuk, kita bahas bareng dari sudut pandang Islam, bukan sekadar mitos atau budaya turun-temurun.
1. Kematian adalah ketetapan Allah, bukan pilihan hari
Dalam ajaran Islam, kematian adalah takdir yang sudah ditentukan. Tidak ada yang bisa mempercepat atau menunda, termasuk karena waktu, hari, atau malam tertentu. Semua jiwa pasti akan merasakan mati, kapan pun dan di mana pun waktunya.
Allah berfirman dalam Al-Qur’an:
“Tiap-tiap yang bernyawa akan merasakan mati.” (Ali Imran: 185)
Mau itu malam Jumat, malam biasa, atau malam 1 Suro, semuanya punya kedudukan yang sama. Tidak ada yang lebih keramat dari yang lain jika berbicara tentang waktu meninggal. Yang terpenting bukan kapan seseorang meninggal, tapi bagaimana ia menjalani hidup sebelum itu terjadi. Maka, alih-alih fokus pada waktu kematian, jauh lebih bijak bila kita mempersiapkan diri dengan amal baik setiap hari.
2. Yang diingat bukan waktunya, tapi amal perbuatannya
Dalam kehidupan ini, banyak orang terlalu sibuk membicarakan cara atau waktu seseorang meninggal. Padahal dalam Islam, yang dilihat adalah amal yang ditinggalkan. Amal baik tidak akan pernah sia-sia, bahkan setelah seseorang wafat.
Rasulullah SAW bersabda:
“Jika seseorang meninggal dunia, maka terputuslah amalnya kecuali tiga hal: sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat, atau anak saleh yang mendoakannya.”
Artinya, yang membekas bukan waktu kematian, tetapi manfaat yang terus mengalir dari hidupnya. Jadi kalau ada orang yang wafat di malam 1 Suro tapi hidupnya diisi dengan hal sia-sia, itu bukan jaminan mulia. Sementara, orang yang wafat di hari biasa tapi meninggalkan warisan kebaikan, justru dialah yang beruntung. Fokus kita seharusnya bukan pada hari kematian, tapi pada apa yang bisa kita tinggalkan sebelum kematian datang.
3. Budaya itu boleh, asal tidak menyimpang
Tidak bisa dipungkiri, dalam tradisi masyarakat Jawa, malam 1 Suro sering dikaitkan dengan ritual tertentu. Banyak orang berpuasa, ziarah, bahkan menyendiri untuk “menenangkan diri”. Secara budaya, ini adalah warisan turun-temurun. Namun secara agama, kita perlu hati-hati agar tidak memaknai sesuatu di luar batas yang dibolehkan.
Islam tidak pernah melarang tradisi selama tidak bertentangan dengan nilai-nilai syariat. Tapi, saat kepercayaan terhadap waktu tertentu mulai menggantikan nilai-nilai keimanan, di situlah kita harus waspada. Jangan sampai karena terlalu percaya pada hari keramat, kita lupa bahwa yang lebih penting adalah bagaimana kita beribadah setiap harinya. Kematian bisa datang kapan saja dan waktu bukan penentu baik buruknya seseorang. Maka, jangan biarkan mitos mengalahkan makna.
Kita memang tidak tahu kapan waktu kita berpulang, tapi kita punya pilihan untuk menjalani hidup dengan niat dan amal yang benar. Meninggal di malam 1 Suro tidak menjadikan seseorang lebih baik atau lebih buruk. Yang paling penting adalah isi hidupnya, bukan harinya. Jadi, yuk terus perbaiki diri dan jangan biarkan mitos membatasi keimanan kita.