suasana di dalam yacht (Pexels/Pixabay)
Menurut beberapa riset yang dicatut di atas, tidak ada perbedaan signifikan antara responden perempuan dan pria. Hanya saja Piff melihat responden perempuan, setidaknya di Amerika Utara (lokasi ia melakukan penelitian) memiliki skor empati sedikit lebih tinggi. Untuk faktor budaya, beberapa mungkin memprediksi kalau negara dengan budaya kolektif akan menunjukkan hasil berbeda.
Asumsi itu masuk akal, tetapi ternyata hasilnya tak sesuai dugaan. Riset Liu, dkk di China dengan judul ‘Effect of Socioeconomic Status on Altruistic Behavior in Chinese Middle School Students: Mediating Role of Empathy dalam International Journal of Environmental Research and Public Health menemukan kecenderungan sama persis. Anak-anak dari kelas ekonomi lebih rendah terbukti lebih dermawan ketimbang anak-anak dari keluarga berada.
Bukti lain bisa kita lihat di negara-negara berkembang dengan masalah korupsi kronis seperti Indonesia. Meski dikenal dengan kultur kolektifnya, anggota DPR dan pejabat di negeri ini membuktikan kalau kemampuan berempati mereka mati seiring dengan peningkatan level kemakmuran (dilihat dari jabatan, pendapatan dan laporan kekayaan mereka). Ini sejalan dengan pendapat umum bahwa ketamakan adalah sifat universal manusia, tak peduli latar belakang budaya dan gendernya. Beberapa kasus orang tajir tone-deaf pun umum ditemukan di berbagai negara termasuk Rusia, China, Thailand, Korsel, dan lain sebagainya.
Terjawab sudah mengapa orang tajir susah berempati dan condong tone-deaf. Ada kaitannya dengan sifat naluriah manusia yang tamak dan haus validasi. Kalau bisa dirangkum, beberapa faktor utama berkurangnya kemampuan berempati pada orang tajir adalah perasaan berhak yang tinggi (keengganan mengakui hak istimewa mereka) serta sensasi bebas dan berkuasa yang tercipta karena harta.