Singkat cerita, setelah menjalani pengangkatan salah satu tuba falopinya, Andra justru selalu mengalami kesakitan setiap datang bulan. Dia merasakan seperti ada yang menusuk dan sakitnya melebihi nyeri haid pada umumnya. Dokter yang menanganinya pun tidak memberi penjelasan apa-apa terkait hal ini. Sehingga Andra harus merasakan penderitaan ini selama delapan bulan lamanya.
Karena tidak tahan dengan penyakit yang ada, Andra pergi ke Penang untuk menjalani perawatan. Penang dipilih sebagai lokasi perawatan karena Ibu Andra telah beberapa kali melakukan kemoterapi di sana dan beliau selalu puas dengan pelayananan rumah sakit-rumah sakit yang ada di Penang. Kemudian Andra bertemu dengan salah satu obgyn yang ada di rumah sakit dekat penginapannya.
Andra membawa seluruh catatan medis serta foto-foto hasil laparoscopy miliknya dan memperlihatkannya pada dokter tersebut. Ketika melihat rekam medis Andra, raut wajah dokter tersebut langsung berubah dan menanyakan apakah sebenarnya Andra telah mengetahui apa yang terjadi pada dirinya. Andra hanya bisa menggeleng dan dokter menjelaskan bahwa kondisi kedua tuba falopinya sudah sangat parah. Infeksi dan perlengketan pada tuba kanan Andra juga mempengaruhi tuba kirinya.
Lalu alat-alat dan obat yang dipakai untuk operasi bukanlah yang terbaik, meskipun harganya mahal. Dokter juga menjelaskan bahwa ada satu obat yang diletakkan pada tuba falopinya, padahal obat tersebut tidak diperlukan. Dan Andra telah menggelontorkan senilai Rp8 juta rupiah untuk itu. Beliau menduga bahwa doker di Jakarta yang menangani Andra mendapatkan endorse, sehingga memilih obat tersebut untuk dimasukkan pada tubuhnya.