Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
ilustrasi membuka sosial media
ilustrasi membuka sosial media (unsplash.com/Austin Distel)

Intinya sih...

  • Pola pikir dunia selalu dalam bahaya

  • Pola pikir harus selalu tahu segalanya

  • Pola pikir yang selalu mengharapkan hal buruk terjadi

Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Di era informasi tanpa batas, doomscrolling menjadi kebiasaan yang diam-diam tumbuh dan mengambil ruang besar dalam kehidupan mental. Ini muncul dari keinginan sederhana memastikan diri tetap update. Entah pada berita, isu, atau drama yang terjadi di dunia.

Namun lama-kelamaan, kebiasaan ini menggeser cara kita melihat realitas. Sekaligus mempengaruhi kesehatan emosional, dan membentuk pola pikir tertentu yang sulit disadari. Berikut enam pola pikir utama yang sering terbentuk karena doomscrolling.

1. Pola pikir dunia selalu dalam bahaya

ilustrasi melihat layar handphone (pexels.com/Ketut Subiyanto)

Doomscrolling membuat kita terus-menerus terpapar berita buruk. Entah itu bencana, konflik, tragedi kemanusiaan, skandal politik, dan berbagai konten negatif lainnya. Semakin lama, pikiran menangkap pesan yang berulang bahwa dunia tidak aman.

Dari sinilah muncul pola pikir bahwa bahaya selalu mengintai di mana saja. Pola pikir ini bisa membuat seseorang lebih waspada secara berlebihan dan mudah merasa cemas, bahkan dalam situasi yang sebenarnya aman. Persepsi mereka terhadap realitas menjadi bias, karena yang ditangkap bukan keseluruhan dunia, melainkan gambaran paling buruk.

2. Pola pikir harus selalu tahu segalanya

ilustrasi membuka handphone (unsplash.com/ROBIN WORRALL)

Kebiasaan doomscrolling sering lahir dari keinginan untuk tidak ketinggalan informasi. Namun tanpa disadari, kebiasaan itu dapat berubah menjadi obsesi. Seseorang merasa harus mengetahui setiap perkembangan berita, setiap trending topik, dan setiap komentar terbaru.

Pola pikir ini membuat otak bekerja tanpa henti karena merasa bertanggung jawab untuk selalu memantau arus informasi. Ketika seseorang berhenti sebentar saja, ia merasa ada yang kurang, tertinggal, atau bahkan cemas karena tidak tahu apa yang terjadi. Ini membuat fokus mudah terpecah, waktu sulit dikelola, dan pada akhirnya aktivitas penting lain diabaikan.

3. Pola pikir yang selalu mengharapkan hal buruk terjadi

ilustrasi menatap handphone (pexels.com/Tim Douglas)

Doomscrolling memperkuat bias negatif. Pikiran menjadi lebih siap untuk menerima berita buruk daripada kabar baik. Ketika terlalu sering melihat tragedi, konflik, dan drama tanpa jeda, otak membangun pola prediksi yang pesimis. Seakan-akan hal buruk sudah pasti akan terjadi.

Pola ini sering terlihat pada orang yang merasa tidak tenang ketika segala sesuatu berjalan baik. Alih-alih menikmati ketenangan, malah menunggu sesuatu yang buruk menimpa. Cara pikir seperti ini mengikis ketenangan batin dan membuat seseorang sulit melihat potensi positif dalam hidup sehari-hari.

4. Pola pikir kompetitif dalam memahami informasi

ilustrasi bermain handphone (pexels.com/Brett Sayles)

Tanpa sadar, doomscrolling menciptakan pola pikir kompetitif. Siapa yang paling cepat tahu berita, siapa yang paling update, siapa yang paling paham isu terbaru. Seseorang mulai merasa dirinya lebih berharga ketika ia unggul dalam pengetahuan instan, bukan pengetahuan mendalam.

Tapi sayangnya, informasi cepat yang dikonsumsi tanpa filter. Pola pikir ini membuat interaksi sosial menjadi ajang adu informasi. Ketika melihat orang lain lebih dulu tahu sesuatu, muncul rasa tersaingi atau tertinggal. Sebaliknya, ketika lebih cepat mengetahui kabar buruk, seseorang mungkin merasa lebih unggul.

5. Pola pikir selalu ada yang harus diperiksa

ilustrasi melihat handphone (Pexels.com/Keira Burton)

Doomscrolling mengondisikan pikiran untuk merasa gelisah ketika tidak memegang ponsel. Rasanya seperti selalu ada hal penting yang perlu dicek. Entah notifikasi, berita terbaru, komentar baru, atau situasi global yang bergerak cepat.

Pola ini membuat seseorang sulit benar-benar menikmati waktu hening. Bahkan saat sedang bekerja, makan, atau beristirahat, ada dorongan untuk hanya melihat sebentar. Kemudian berubah menjadi berpuluh menit atau bahkan berjam-jam. Pikiran jadi terbiasa bekerja dalam mode siaga, mendeteksi potensi update alih-alih fokus pada momen saat ini.

6. Pola pikir yang meremehkan ketenangan dan kehadiran diri

ilustrasi kecanduan media sosial (unsplash.com/Alexa Suter)

Ketika seseorang terlalu lama terjebak dalam lingkaran doomscrolling, dunia nyata sering terasa lebih sepi, lebih lambat, atau bahkan membosankan. Ini menciptakan pola pikir yang tanpa sadar meremehkan keheningan dan kehadiran diri. Dua hal yang sangat penting untuk kesehatan mental.

Ketenangan dianggap tidak produktif. Waktu tanpa ponsel terasa sia-sia. Padahal justru dalam kondisi hening, kita punya kesempatan untuk pulih. Momen ini membuat kita mampu memproses informasi, dan mengembalikan energinya.

Pola pikir yang terbentuk dari doomscrolling tidak muncul dalam semalam. Tapi tumbuh perlahan, mengikuti ritme scroll demi scroll yang kita lakukan setiap hari. Dengan mengenali keenam pola pikir di atas, kita dapat memahami bagaimana kebiasaan kecil di dunia digital sekaligus mempengaruhi cara kita menafsirkan dunia nyata.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.

Editorial Team

EditorAgsa Tian