Jika hampir semua waktu dihabiskan untuk bekerja, tentu jatah untuk berkumpul bersama keluarga maupun teman-teman akan sangat jauh berkurang. Pemerintah Denmark tidak merasa ini adalah hal yang baik bagi kesehatan warganya. Oleh karena itu, hal yang melatarbelakangi penggunaan prinsip keseimbangan pekerjaan dan kehidupan pribadi adalah budaya untuk menghargai waktu bersama keluarga.
Di Denmark, menjadwalkan waktu berkumpul dengan keluarga atau urusan pribadi lainnya di kalendar kantor adalah hal yang normal. Bagi warga Denmark, mengutamakan keluarga bukan hal yang memalukan. Begitu pun dengan cuti liburan. Mereka sangat memaksimalkan hak ini tanpa takut dianggap malas atau tak punya etika kerja. Bahkan, pemerintah Denmark membangga-banggakan hal ini sampai dicantumkan dalam situs resmi pemerintah.
Prinsip ini sudah begitu sistematis sehingga pekerja Denmark punya etika kerja yang unik. Mereka mempercayai bahwa setiap pekerja pasti memberikan usaha maksimal, apapun jenis pekerjaan mereka. Ini tentu saja berlawanan dengan asumsi umum di mana keseriusan bekerja itu ditentukan oleh berapa banyak waktu yang dihabiskan -- semakin banyak, semakin terlihat rajin. Sebuah anggapan bahwa waktu itu sama dengan produktivitas.
Kebiasaan ini tak hanya dilakukan oleh kelas pekerja biasa. Ketika pukul lima tepat, setiap orang mulai dari resepsionis hingga CEO menyudahi pekerjaannya dan menghabiskan waktu setelahnya untuk kehidupan pribadi. Mengapa? Karena mereka dipercaya telah melakukan pekerjaan dengan baik. Kepercayaan dan kebebasan itu secara tak langsung membuat karyawan lebih bertanggungjawab.
Warga Denmark sepertinya percaya bahwa individu dan masyarakat yang bahagia akan jauh lebih sehat dan bisa melakukan pekerjaan dengan sepenuh hati. Bagaimana dengan Indonesia, ya?