permaculture (instagram.com/smithsonianmagazine)
Masih merujuk liputan Majalah Smithsonian, kebanyakan peminat rural renaissance di Italia adalah pebisnis, pengusaha kuliner artisan yang juga bercocok tanam, serta seniman. Pebisnis mulai membangun co-working space untuk para seniman, digital nomad dan para pekerja remote.
Beberapa membangun semacam penginapan dan restoran sembari mendapatkan bahan-bahan makanan alami dari petani dan peternak lokal. Sejumlah seniman merestorasi bangunan-bangunan klasik yang ditinggalkan penghuninya pasca Perang Dunia II dan masih banyak ide kreatif lain yang bisa ditemukan.
Sedikit berbeda dengan di Swedia, motivasi orang pindah ke desa lebih condong ke Green Wave, yaitu keinginan untuk meningkatkan kualitas hidup lewat udara yang lebih segar dan makanan yang organik. Namun, ini membuat counterurbanisation di Swedia dan beberapa negara Skandinavia lainnya lebih bersifat sementara. Bukan untuk tujuan menetap.
Kasus Jepang juga tak kalah unik. Melansir tulisan Dilley, Gkartzios, dan Odagiri; selama 5 dekade ke belakang fenomena urbanisasi mendominasi negara itu sampai akhirnya terjadi pergeseran yang pesat di masa pandemi. Mulai banyak yang melirik desa sebagai tempat tinggal, kebanyakan sebagai petani atau pekerja yang bisa melakukan kewajibannya mencari nafkah dari mana saja.
Sama dengan Italia, pemerintah Jepang juga turut aktif mendorong counterurbanisation lewat berbagai skema kebijakan.