Sandra Suryadana: Perspektif Gender Sangat Penting di Dunia Medis

Pada awal tahun 2019 lalu, Sandra Suryadana membuat gerakan sosial bertajuk Dokter Tanpa Stigma. Dokter muda ini ingin menciptakan medium baru untuk memberikan perspektif kesetaraan gender pada isu-isu sosial yang terjadi di Indonesia. Tentu saja semuanya dilakukan berdasarkan kacamata medisnya.
Dalam kesempatan wawancara khusus bersama IDN Times yang dilakukan pada Kamis (4/3/2021) pukul 19.00 WIB, Sandra membagikan banyak hal. Mulai dari pengalamannya sebagai tenaga kesehatan, perjalanan @doktertanpastigma, keprihatinannya tentang stigma negatif kepada kelompok marjinal, sampai gentingnya pengesahan RUU PKS.
Berikut rangkuman hasil wawancara #AkuPerempuan bersama Sandra.
1. Dokter Tanpa Stigma lahir dari refleksi dan keprihatinan Sandra terhadap stigma negatif kepada kelompok marginal
Sudah dua tahun berlalu sejak awal lahirnya gerakan Dokter Tanpa Stigma. Saat ini, telah ada 7 ribu lebih pengikut pada akun Instagram-nya. Selama pandemik, gerakan sosial ini turut aktif menyuarakan isu-isu terkini melalui berbagai webinar, IG Live, serta podcast.
Sandra sendiri merasa bahwa perkembangan teknologi sangat membantunya tetap terkoneksi dengan orang lain selama self quarantine. Saat ini, dirinya bekerja di salah perusahaan startup telemedicine. "Aku medical consultant di divisi obgyn. Mulai join perusahaan ini sejak awal masa pandemik," tuturnya.
Selain fokus pada pekerjaannya, Sandra masih membuat konten di @doktertanpastigma. Ia mengatakan, "Motivasi awal aku bikin Dokter Tanpa Stigma itu karena keprihatinan melihat banyak sekali stigma negatif kepada kelompok marginal. Yang justru datang dari tenaga medis itu sendiri."
Ada pun kelompok marginal yang disebutkannya itu meliputi para perempuan korban kekerasan, ODHIV (Orang dengan HIV), penyandang disabilitas, teman-teman LGBTQ+, dan sebagainya.
Sejak awal pembuatan akunnya, Sandra mengurus gerakan tersebut sendirian. Inspirasinya datang dari pengalaman pribadi dan refleksinya, tepatnya sebagai seorang penyintas kekerasan dalam hubungan pacaran dan dokter yang telah bekerja di berbagai daerah.
"Dengan aku praktik di banyak daerah, aku lihat bahwa isu kekerasan itu ternyata jamak terjadi pada para perempuan Indonesia. Jadi aku start dari isu kekerasan dulu dan aku sengaja bikin namanya Dokter Tanpa Stigma karena aku ingin kasih perspektif dari sisi kesehatannya," ungkapnya.
"Jadi value yang diangkat sama Dokter Tanpa Stigma itu adalah anti-kekerasan, inklusivitas, dan kesetaraan," ujarnya. Tiga hal tersebut dijadikannya pegangan selama dua tahun mengelola gerakan sosial ini. Yang paling utama, ia ingin menyuarakan beragam isu sosial dari kacamata medis.
Lebih lanjutnya ia menjelaskan, "Aku berharap Dokter Tanpa Stigma bisa jadi gerakan yang menjembatani tenaga medis dan pasien. Karena kadang masyarakat itu merasa tenaga medis eksklusif dan gak tersentuh, kecuali di ruang-ruang praktek."