Tak ada kesepakatan damai. Bukannya saling mundur diri, aparat dan mahasiswa (bersatu dengan masyarakat) akhirnya bentrok. Bom molotov meledak-ledak. Petasan dan batu melayang-layang di udara Mrican. Jalan itu adalah saksi perseteruan aparat pelat merah dan warga sipil.
Sayang, keadaan tak terkontrol. Seorang mahasiswa, yang seharusnya duduk manis di bangku kuliah, menikmati ilmu yang diberikan bapak dan ibu dosen, harus menjadi “tumbal” keadaan. Entah siapa yang bersalah kala itu. Yang jelas, raga Moses ditemukan tergeletak. Tangan pemuda ini menelikung ke belakang, mengenaskan. Kepalanya berlumur darah, luka parah. Pendarahan hebat terjadi, di mulut, di telinga, dan di kepala. Malam yang gaduh menjadi pilu. Pukul 21.55, ia meregang nyawa di sepanjang jalan menuju Rumah Sakit Panti Rapih.
Tak sampai ditangani tim medis, ruhnya sudah duluan melepaskan diri dari jasad. Namun ambulans tetap meraung, membawanya menuju rumah sakit. Dokter menyatakan ia mengalami retak tulang dasar tengkorak. Seperti dikutip berbagai sumber, kala itu, Pembantu Rektor III Universitas Sanata Dharma G. Sukadi didampingi dosen Y.R. Subakti dan Romo Broto Wiyono, SJ melayat pada pukul 00.15 di rumah sakit. Mereka membenarkan bahwa Moses adalah mahasiswa Universitas Sanata Dharma.