Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
ilustrasi burnout (pexels.com/Anna Tarazevich)
ilustrasi burnout (pexels.com/Anna Tarazevich)

Intinya sih...

  • Pola hidup yang tidak berubah setelah recovery

  • Ekspektasi diri yang terlalu tinggi

  • Lingkungan yang tidak mendukung proses pemulihan

Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Merasa lega setelah akhirnya keluar dari masa burnout tentu menjadi hal yang melegakan. Energi perlahan kembali, motivasi mulai muncul, dan semangat menjalani hari terasa seperti hidup lagi. Namun bagi banyak orang, fase pemulihan itu ternyata tidak bertahan lama. Setelah beberapa bulan atau bahkan minggu, kelelahan emosional dan mental itu datang kembali tanpa disadari.

Masalahnya, kambuhnya burnout sering kali bukan karena seseorang tidak berusaha cukup keras, melainkan karena akar penyebabnya belum benar-benar terselesaikan. Rutinitas, ekspektasi diri, hingga lingkungan sosial yang menuntut stabilitas emosional kadang membuat seseorang terjebak dalam lingkaran lelah yang berulang. Berikut beberapa alasan mengapa banyak orang kembali kambuh setelah sembuh dari burnout.

1. Pola hidup yang tidak berubah setelah recovery

ilustrasi insomnia (pexels.com/cottonbro studio)

Salah satu penyebab utama seseorang kambuh dari burnout adalah karena kembali pada pola hidup yang sama seperti sebelum sembuh. Saat proses pemulihan, banyak orang berfokus pada istirahat dan keseimbangan diri. Namun setelah merasa lebih baik, mereka sering tergoda untuk kembali bekerja keras, mengambil banyak tanggung jawab, dan mengabaikan batas kemampuan tubuh serta pikiran. Akibatnya, kondisi lelah yang sempat mereda kembali muncul perlahan tanpa terasa.

Selain itu, gaya hidup yang penuh distraksi mempercepat siklus kelelahan ini. Pola tidur yang tidak teratur, konsumsi informasi berlebihan, hingga kebiasaan menunda makan sehat membuat tubuh kehilangan stabilitas yang sudah dibangun selama proses burnout recovery. Seseorang mungkin merasa “baik-baik saja”, padahal sebenarnya tubuh belum benar-benar siap menghadapi ritme yang padat.

2. Ekspektasi diri yang terlalu tinggi

ilustrasi menaruh ekspektasi (pexels.com/Budgeron Bach)

Banyak orang berpikir bahwa setelah sembuh dari burnout, mereka harus menjadi versi diri yang lebih produktif dari sebelumnya. Harapan itu sering muncul dari rasa takut dianggap lemah atau tidak berkembang. Padahal, pemulihan dari burnout bukan berarti harus membayar waktu yang dulu “terbuang”, melainkan membangun ulang cara hidup yang lebih sehat secara mental.

Ekspektasi yang tidak realistis ini membuat seseorang kembali tertekan. Mereka menuntut diri untuk tampil sempurna di setiap aspek, baik karier, hubungan, maupun kehidupan pribadi. Jika tidak disadari, seseorang bisa terjebak dalam lingkaran ambisi yang justru membawa mereka kembali pada titik lelah yang sama.

3. Lingkungan yang tidak mendukung proses pemulihan

ilustrasi lingkungan kerja (pexels.com/cottonbro studio)

Pemulihan dari burnout tidak hanya bergantung pada niat individu, tetapi juga pada lingkungan di sekitarnya. Jika seseorang berada di tempat kerja yang toksik atau dikelilingi oleh orang-orang yang tidak memahami pentingnya keseimbangan mental, peluang untuk kambuh menjadi jauh lebih besar. Rasa bersalah karena mengambil waktu istirahat atau kekhawatiran dianggap tidak kompeten sering kali membuat seseorang kembali memaksakan diri.

Selain lingkungan profesional, tekanan sosial juga memainkan peran besar. Budaya “selalu sibuk” yang dipuja di media sosial menciptakan standar hidup tidak realistis. Ketika seseorang mencoba melambat demi kesehatan mental, mereka justru merasa tertinggal dari orang lain. Rasa minder dan kehilangan arah ini bisa menggerus hasil burnout recovery yang sebelumnya telah susah payah dicapai.

4. Kurangnya refleksi dan kesadaran diri

ilustrasi kurang sadar diri (pexels.com/Cup of Couple)

Salah satu kesalahan paling umum dalam proses pemulihan adalah berhenti melakukan refleksi setelah merasa pulih. Padahal, burnout tidak hanya soal kelelahan fisik, tetapi juga krisis makna dan nilai hidup. Tanpa mengenali pola pikir dan kebiasaan yang menyebabkan kelelahan itu, seseorang mudah terperangkap dalam siklus yang sama. Mereka mungkin mengira sudah “berubah”, padahal hanya beristirahat sementara dari penyebab utama stresnya.

Refleksi diri membantu seseorang memahami apa yang sebenarnya mereka butuhkan, bukan sekadar apa yang dianggap harus dicapai. Misalnya, menyadari bahwa rasa lelah bukan karena beban kerja semata, tapi karena kehilangan arah dalam menjalani hidup. Tanpa kesadaran ini, burnout recovery hanya menjadi jeda sementara, bukan sesuatu yang bertahan lama.

5. Mengabaikan tanda-tanda kelelahan emosional yang kembali

ilustrasi lelah (pexels.com/RDNE Stock project)

Kambuh dari burnout sering kali terjadi karena seseorang menyepelekan tanda-tanda awalnya. Gejala kecil seperti kehilangan minat, mudah tersinggung, sulit tidur, atau kelelahan terus-menerus sering dianggap hal biasa. Padahal, sinyal-sinyal itu adalah cara tubuh memberi peringatan agar kamu segera berhenti dan menata ulang ritme hidup.

Masalahnya, banyak orang memilih menunda istirahat karena takut mengecewakan orang lain atau kehilangan momentum. Mereka terus melangkah hingga akhirnya kelelahan itu menumpuk dan tidak bisa dikendalikan. Padahal, mengenali sinyal tubuh lebih awal bisa menjadi bentuk kasih sayang terhadap diri sendiri yang membantu mencegah burnout kembali datang.

Sembuh dari burnout memang prosesnya bukan seperti garis lurus, melainkan bisa naik turun. Ada kalanya kamu merasa stabil, lalu tiba-tiba kembali kehilangan arah, dan itu wajar. Jadi, setelah tahu penyebab seseorang bisa kambuh dari burnout, sudah siapkah kamu menjaga keseimbangan diri agar tidak terjebak di siklus yang sama lagi?

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.

Editorial Team