Nurni Sulaiman (instagram.com/nurnisulaiman)
Tentu bukan hal yang mudah melakoni banyak peran sekaligus. Pelatih, wasit, istri, ibu, tetapi juga masih bekerja sebagai jurnalis. Nurni menuturkan bahwa perempuan sejatinya memiliki kekuatan yang luar biasa. Kelembutan seorang perempuan bukan berarti lemah, melainkan tersimpan kekuatan.
“Saya harus belajar banyak dari sisi lembutnya. Dialah (kelembutan) yang bisa mengendalikan apa pun,” tuturnya.
Salah satu kekuatan terbesar seorang perempuan terletak pada bagaimana mereka bisa mengelola banyak hal dalam satu waktu sekaligus. Hal ini pula yang dirasakan Nurni dalam kehidupan sehari-harinya sebagai jurnalis dan pelatih.
“Hebatnya, saya melihat diri saya ingin mengerjakannya dalam sekali waktu. Tapi sebenernya kelemahan juga, gak bisa seperti itu karena kita punya batas. Kekuatannya bisa membelah atau membagi dua hal penting dikerjakan dalam sekali waktu. Biasanya cowok gak bisa, dia fokus ke satu hal,” tambah Nurni.
Menjalani banyak hal sekaligus, menuntut Nurni untuk bisa mengambil keputusan di saat-saat genting. Tak jarang, ia harus memilih mengorbankan quality time bersama keluarga, pekerjaan, atau kesempatannya berkembang di dunia taekwondo.
Meski sudah memegang sabuk hitam, bukan berarti Nurni tidak pernah menghadapi kesulitan. Sempat cuti dari taekwondo bertahun-tahun, membuat Nurni mau tidak mau harus beradaptasi lagi dari nol.
“Kita harus menghafal lagi jurus-jurus yang udah lama, ada perkembangan apa, harus penyesuaian lagi di taekwondo. Di keluarga juga penyesuaian. Selain liputan, ada lagi kegiatan tambahan. Untungnya, keluarga mendukung penuh karena memang saya waktu pindah ke Sumut itu, sudah sabuk hitam. Kalau sabuk hitamnya, udah lebih 20 tahun yang nasional. Jadi di Medan akhirnya berkembang jadi melatih. Lisensi di-upgrade menjadi pelatih nasional. Memang kesibukannya tambah tinggi. Porsi dengan keluarga makin kecil, tapi keluarga mendukung,” paparnya.
Dalam ceritanya, Nurni mengaku dihadapkan oleh berbagai kegiatan penting sebagai jurnalis maupun wasit. Namun di titik itu, Nurni belajar untuk mengambil atau mendahulukan mana yang lebih esensial dan penting bagi keberlanjutan hidupnya ke depan.
Ia menambahkan, “Saya pilih yang mendesak. Ada nih yang saya persiapkan untuk sesuatu yang lebih besar.”