Berbeda dengan tahun lalu yang dipenuhi konflik batin cukup kuat, kami memutuskan ikut berpuasa bersama bapak dan ibu pada tahun ini. Mereka bahagia melihat putra-putrinya mau berpuasa.
Tak ada paksaan, mereka justru mengingatkan kami untuk berbuka di siang hari kalau tak kuat. "Jangan memaksakan diri," kata Bapak.
Bukan tanpa dialektika batin, aku sering mempertanyakan keyakinanku sendiri. Apakah dengan aku ikut berpuasa seperti umat Islam, itu artinya aku mencurangi keyakinanku sendiri.
Sempat ku tanyakan kepada pendeta dan bapak mengenai hal itu. Mereka kompak menjawab bahwa sikapku merupakan bentuk toleransi dan patut diapresiasi.
Bapak pun memberikan sejumlah tips menjalani puasa supaya lancar. Dia menilai sikap kami sudah lebih dewasa dibanding sebelumnya. Alhasil, kami menjalankan ibadah puasa dengan hati tenang dan damai.
Meski ikut berpuasa Ramadan, aku belum tentu akan berpindah keyakinan menjadi seorang muslim. Namun, yang kuyakini, aku tidak menodai agamaku ketika ikut berpuasa, mengikuti jam sahur, dan berbuka seperti bapak dan ibu.
Tak hanya kami yang menerapkan toleransi beribadah, bapak pun bersikap demikian. Saat Natal, bapak membelikan kado untuk kami.
Dia juga tak pernah absen mengingatkan kami beribadah sesuai keyakinan masing-masing. Bapak sering mengungkapkan keprihatinannya terhadap kondisi Indonesia saat ini yang minim toleransi.
Menurut dia, toleransi bangsa Indonesia sudah tumpul dan memudar. Semua orang mengagungkan agamanya sendiri-sendiri. Padahal, kata dia, tidak ada agama yang lebih unggul. Sebab, setiap agama mengajarkan kebaikan.
Menurutku, semua sikap kembali kepada orangnya masing-masing, seberapa besar imanmu siap untuk belajar sikap toleransi ini. Percuma saja kalau kita berteriak-teriak toleransi, kalau hanya tahu sebatas teori saja.
Kalau aku saja bisa meletakkan egoku dan mengesampingkan idealisme agamaku, kenapa kamu tak bisa melakukannya juga? Mudah kok, asal kamu punya hati yang ringan untuk melakukannya.
Jangan biarkan toleransi beragama mati di negara kita. Ingat, negara kita dibangun atas dasar keanekaragaman agama dan budaya. Jika kamu hanya mementingkan ego satu agama, aku yakin kamu akan sulit mendapati kedamaian diri seperti yang sedang kurasakan sekarang.