Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
ilustrasi tidak bahagia (pexels.com/Gustavo Fring)

Gak semua orang yang lagi unhappy dapat mengaku bahwa dirinya lagi gak baik-baik saja. Beberapa merasa gengsi, beberapa bahkan kerap menyangkal-nyangkal perasaannya sendiri. Tapi, setiap hal yang keluar berasal dari hati. Tak terkecuali sikap dan tindakan seseorang.

Sosok gak bahagia mungkin gak akan secara langsung ngomong bahwa dia gak bahagia dengan hidupnya, namun terlihat dari cara ia bersikap sehari-hari. Bukan untuk menghakimi, mengenali sinyal ini dapat membuatmu lebih mudah dalam refleksi keadaan diri.

1.Mudah sekali untuk mengritik orang lain

ilustrasi pasangan (pexels.com/RDNE Stock Project)

Mengritik orang adalah salah satu tolak ukur yang bisa menilai apakah seseorang cukup bisa menerima dan bahagia dengan hidupnya. Bila tidak, maka ia pasti akan memproyeksikan insecurities dan rasa rendah diri dengan melempar penghakiman pada orang lain.

Hal tersebut dilakukan sebagai sikap defensif untuk meringankan dan menyeimbangkan kritik internal dari dalam diri mereka sendiri. Tentu setiap hal yang dilakukan orang lain menjadi salah di matamu. Bahkan bila itu hal yang baik dan positif, kamu akan selalu mencari celah dan menjatuhkan mereka dengan kata-kata.

2.Menganggap setiap orang adalah saingan

ilustrasi wanita (pexels.com/Thirdman)

Seseorang yang tidak bahagia dalam hidupnya pasti sulit mendapat sahabat dekat. Di sekolah, kuliah, atau tempat kerja, ia akan menganggap individu lain sebagai saingan alih-alih seorang teman. Bukannya salah, tapi bila diterapkan dengan berlebihan pun akan merugikan diri sendiri.

Seseorang yang sangat kompetitif biasanya didasari oleh keinginan mendalam akan pengakuan dan validasi eksternal. Ketika justru hasilnya “kalah” atau tidak jauh lebih baik dari orang lain, maka ia akan merasa begitu gagal dan rendah diri, takut dianggap “lebih rendah” oleh orang di sekitarnya. Padahal, semua itu hanya asumsi belaka.

3.Sulit mempercayai orang lain

ilustrasi mengobrol (pexels.com/Karolina Grabowska)

Pernah tidak kamu bertemu satu individu yang selalu menyendiri bukan sebab ia tidak punya teman, tapi sebab ia memilih untuk tidak punya teman? Dua hal tersebut jelas berbeda. Seseorang yang secara sengaja menarik diri dari lingkungan sosial bisa menjadi tanda bahwa ia sebenarnya tidak bahagia.

Ada trauma tersendiri yang membuatnya sulit percaya pada orang lain, meski sudah kenal bertahun-tahun lamanya. Kepercayaan adalah kunci untuk membangun hubungan yang sehat dan intim. Tanpa ini, kamu akan terus menjalani relasi yang “pura-pura” dan dangkal.

4.Tidak bisa menjadi diri sendiri secara utuh

ilustrasi wanita (pexels.com/ROMAN ODINTSOV)

Penerimaan diri erat kaitannya dengan kebahagiaan hidup seseorang. Bila ia belum mampu berdamai dengan kekurangannya, maka ia pun tidak akan bisa bersikap apa adanya di depan orang lain.

Bisa jadi ia malah mengembangkan topeng kepribadian hanya untuk menyenangkan hati orang. Tentu lambat laun akan merasa capek sendiri. Sebab kamu tidak mengizinkan orang lain untuk mengenal dirimu apa adanya.

5.Tidak lagi tertarik akan apa pun

ilustrasi wanita (pexels.com/Liza Summer)

Intinya satu, semua terasa hambar. Hobimu, hal yang kamu senangi, film favoritmu tidak mampu lagi membangkitkan sensasi menyenangkan. Malah, kamu justru merasa biasa-biasa saja.

Padahal, memiliki rasa kagum terhadap seseorang atau sesuatu dapat meningkatkan rasa syukur atas kehidupan yang dijalani. Bila kamu sudah mulai kehilangan perasaan ini, bisa jadi ada lubang ketidakbahagiaan yang terus kamu bawa sampai sekarang.

Bahagia seseorang gak seharusnya bergantung pada validasi eksternal. Harus lahir dari kesadaran dari dalam diri, bahwa kamu bersyukur dan menerima keadaanmu sekarang apa adanya. Dengan demikian, kamu pun dapat menyebarkan aura positif kemana kamu melangkah.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.

Editorial Team