3 Tanda-tanda Kamu Terjebak dalam Pola Toxic Positivity!

Dalam dunia yang serba cepat dan penuh tekanan seperti saat ini, tekanan untuk selalu tampak bahagia, positif, dan sukses seringkali terasa sangat besar. Ini adalah era di mana media sosial memamerkan gambaran hidup yang "sempurna", sorotan utama hanya pada momen-momen bahagia dan pencapaian yang gemilang. Dalam konteks ini, konsep "toxic positivity" muncul sebagai peringatan tentang bahaya menekan atau menolak emosi negatif dan tidak menyenangkan dalam upaya untuk selalu terlihat positif. Mungkin terdengar kontradiktif, tetapi terlalu banyak "berpikir positif" ternyata bisa merugikan kesejahteraan mental kita.
Namun, terkadang sulit untuk menyadari bahwa kita mungkin terjebak dalam pola pikir ini, terutama ketika itu muncul sebagai reaksi alami terhadap tekanan sosial dan ekspektasi yang ditemui sehari-hari. Oleh karena itu, penting untuk mengenali tanda jika kita terperangkap dalam pola toxic positivity ini agar kita dapat memahami lebih baik dampaknya. Dalam artikel ini, kita akan menjelajahi tiga tanda yang dapat mengindikasikan bahwa seseorang mungkin terjebak dalam pola pikir toksik ini, serta dampaknya pada hubungan dan pertumbuhan pribadi.
1. Mengabaikan emosi negatif
Salah satu tanda utama bahwa seseorang mungkin terjebak dalam pola toxic positivity adalah ketika mereka cenderung mengabaikan atau menekan emosi negatif. Mereka mungkin merasa bahwa mereka harus selalu bahagia dan positif, sehingga mereka menolak untuk menghadapi atau mengakui emosi seperti kesedihan, kecemasan, atau marah. Misalnya, jika seseorang kehilangan pekerjaan atau mengalami kegagalan, mereka mungkin langsung mencoba untuk "melihat sisi positifnya" tanpa memberi diri mereka waktu untuk merasakan emosi yang sebenarnya.
Hal ini dapat menyebabkan penumpukan emosi negatif yang tidak sehat, karena mereka tidak diizinkan untuk dilepaskan atau diungkapkan dengan cara yang sehat. Akibatnya, mereka mungkin merasa terisolasi atau tidak dipahami oleh orang-orang di sekitar mereka, karena mereka tidak merasa nyaman untuk membuka diri tentang perasaan mereka yang sebenarnya.