Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
validasi
ilustrasi validasi (pexels.com/Pavel Danilyuk)

Intinya sih...

  • Validasi membuat pilihan hidup terasa tidak sepenuhnya sendirian

  • Sering muncul sebagai reaksi, bukan niat

  • Validasi bisa berubah menjadi beban ketika dijadikan ukuran hidup

Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Validasi sering hadir tanpa disadari dalam kehidupan sehari-hari, mulai dari reaksi orang lain terhadap pilihan hidup sampai respons kecil atas cerita yang dibagikan. validasi bukan soal mencari pembenaran, melainkan tentang bagaimana seseorang merasa eksistensinya tidak diabaikan. Banyak keputusan hidup diambil bukan karena ingin dipuji, tetapi karena ingin dianggap masuk akal.

Di titik inilah validasi menjadi relevan sebagai pengalaman manusiawi, bukan konsep abstrak. Perbincangan tentang validasi terus muncul karena hidup semakin terbuka dan serba terlihat. Berikut pembahasan mengenai apakah validasi itu perlu bagi seseorang.

1. Membuat pilihan hidup terasa tidak sepenuhnya sendirian

ilustrasi membuat pilihan (pexels.com/Ron Lach)

Banyak keputusan hidup diambil tanpa jaminan hasil yang jelas, sehingga respons dari sekitar sering menjadi penanda awal. Ketika pilihan dianggap wajar, seseorang cenderung lebih yakin melangkah. Validasi di sini tidak mengubah keputusan, tetapi memberi rasa bahwa pilihan tersebut bisa dipahami. Situasi ini sering dialami saat memilih jalur hidup yang berbeda dari kebanyakan orang.

Pengakuan semacam itu tidak selalu berupa dukungan terbuka. Terkadang cukup dengan tidak meremehkan atau tidak mempertanyakan secara berlebihan. Dalam praktiknya, validasi membantu seseorang berdamai dengan pilihannya sendiri. Hidup pun terasa lebih ringan karena tidak selalu merasa harus menjelaskan segalanya.

2. Sering muncul sebagai reaksi, bukan niat

ilustrasi reaksi (pexels.com/Alex Green)

Banyak orang mengira validasi selalu dicari dengan sengaja, padahal sering kali ia datang sebagai efek samping. Saat seseorang bercerita atau berbagi pengalaman, respons orang lain muncul secara alami. Reaksi tersebut kemudian diartikan sebagai bentuk pengakuan. Hal ini membuat validasi menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan sehari-hari.

Masalah muncul ketika setiap reaksi mulai dihitung dan ditunggu. Padahal, validasi awalnya bukan tujuan, melainkan konsekuensi dari keterbukaan. Memahami hal ini membantu seseorang tidak terjebak pada ekspektasi berlebihan. Hidup pun berjalan lebih fleksibel tanpa ketergantungan pada respons tertentu.

3. Validasi bisa berubah menjadi beban ketika dijadikan ukuran hidup

ilustrasi validasi (pexels.com/Vitaly Gariev)

Ketika pengakuan dijadikan tolok ukur utama, hidup perlahan terasa melelahkan. Banyak orang mulai membandingkan respons yang diterima dengan orang lain. Situasi ini membuat validasi bergeser dari penopang menjadi tekanan terselubung. Padahal, pengakuan orang lain tidak selalu mencerminkan nilai sebenarnya dari sebuah pilihan.

Dalam kehidupan nyata, banyak hal penting berjalan tanpa sorotan. Menyadari batas validasi membantu seseorang kembali fokus pada kebutuhan hidupnya sendiri. Di titik ini, validasi tidak lagi mengendalikan arah hidup. Ia sekadar hadir sebagai pelengkap, bukan penentu.

4. Validasi dari diri sendiri sering terlambat disadari

ilustrasi validasi (pexels.com/Karola G)

Sebagian orang baru menyadari pentingnya pengakuan diri setelah terlalu lama menunggu dari luar. Menghargai keputusan sendiri bukan perkara mudah karena terbiasa mencari rujukan. Namun, pengakuan pribadi membantu seseorang berdiri lebih tegak di tengah perbedaan pendapat.

Validasi diri bukan bentuk pembelaan buta. Ia justru berfungsi sebagai landasan agar tidak mudah goyah. Dengan dasar tersebut, respons orang lain tidak lagi menentukan rasa cukup. Hidup terasa lebih terkendali tanpa harus memutus hubungan dengan sekitar.

5. Perlu ditempatkan sebagai pengalaman, bukan target

ilustrasi validasi (pexels.com/Karola G)

Melihat validasi sebagai pengalaman membuat hidup terasa lebih realistis. Ia datang dan pergi tanpa bisa dipaksa. Ketika tidak dijadikan target, pengakuan tidak lagi menimbulkan kecemasan. Banyak orang justru merasa lebih bebas saat berhenti mengejarnya.

Dalam kehidupan sehari-hari, validasi seharusnya dipahami sebagai bagian dari interaksi manusia. Ia tidak perlu ditolak, tetapi juga tidak perlu diprioritaskan. Posisi yang seimbang membuat seseorang tetap berjalan tanpa kehilangan arah. Hidup pun tidak lagi terasa sebagai ajang pembuktian.

Memang benar validasi itu perlu ada di kehidupan sehari-hari, meski begitu hal tersebut bukan sesuatu yang harus selalu dicari atau dihindari. Ia hadir sebagai pengalaman yang wajar ketika manusia saling bersinggungan. Cara memahaminya akan menentukan apakah validasi menjadi penopang atau justru beban. Lalu, sejauh mana validasi perlu diberi tempat dalam hidup sehari-hari?

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.

Editorial Team