Mark Zuckerberg sedang mengajar tentang pemrograman di kelas computer science. (thecrimson.com/Brian A Cantor))
Program kedua Mark di ciptakan saat ia masih menjadi siswa SMA di Phillips Exeter Academy kota New York. Di tahun terakhirnya bersekolah, Mark mendapatkn sebuah tugas proyek. Hasil dari tugas tersebut akan dijadikan bahan pertimbangan pihak sekolah untuk membantu siswanya masuk ke perguruan tinggi. Namun, sayangnya Mark belum mendapatkan ide apapun.
Ketika Mark sedang berdiskusi mengenai projek tersebut, tiba-tiba komputernya berhenti memutarkan lagu-lagu di daftar putar. Untuk memutar ulang lagu tersebut, Mark harus kembali ke komputernya dan memilih lagu terlebih dahulu. Menurutnya hal tersebut sangat tidak efektif dan ia membenci hal tersebut. Dari permasalahan sederhana, Mark tiba-tiba mendapatkan sebuah ide.
Mark mendapatkan ide untuk menciptakan sebuah program yang mampu memutarkan rekomendasi lagu secara otomatis. Ia memutuskan untuk menjadikan ide tersebut sebagai proyek sekolahnya.
Adam D'Angelo salah satu temannya bergabung dalam proyek tersebut. Mereka mulai menulis program dan membuat plug-in MP3 Player Winamp yang mereka beri nama Synapse Media Player.
Synapse Media Player merupakan plug-in yang mampu memprediksi kebiasaan mendengar musik pengguna berdasarkan genre, artist, taste, atau seberapa sering lagu itu di putar. Fitur tersebut sama seperti fitur rekomendasi yang kita kenal di Spotify. Setelah program tersebut selesai mereka merilisnya di internet secara gratis.
Plug in tersebut mendapat 1000 download dalam waktu singkat. Hasil temuannya tersebut mendapat sambutan baik, Slasdot sebuah media berita teknologi online memberikan rating 3 dari 5 dan sebuah PC Magazine memberikan pujian di salah satu majalahnya.
Kepopuleran Synapse menarik perhatian beberapa lembaga besar seperti AOL (American Online) dan Microsoft. Baik AOL dan Microsoft mencoba menawari Mark untuk menjual plug in. Mereka berani memasang harga satu juta dollar untuk plug in tersebut dan menawarinya pekerjaan tetap di perusahaan mereka setelah ia lulus SMA.
Tawaran tersebut membuat Mark dan D'Angelo yang masih SMA terjaga semalaman. Namun, mereka mengambil keputusan untuk menolak tawaran tersebut dan mengunggah hasil temuannya secara gratis di internet dan memilih untuk masuk ke Harvard ketimbang bekerja di dua perusahaan besar tersebut.