Zahwa Islami, psikolog klinis sekaligus penulis buku Cetak Biru Cinta. (instagram.com/policintakeliling)
Budaya atau kebiasaan masyarakat sangat memengaruhi cara hidup seseorang. Contohnya, masyarakat Indonesia yang cenderung hidup secara berkelompok, tak suka melakukan sesuatu secara individual.
Kebiasaan tersebut terbawa hingga dewasa. Misalnya, ketika menginjak usia dewasa, seorang anak tak dapat mengambil keputusan secara mandiri. Sering kali pilihan yang diambil, berdasarkan pertimbangan dari keinginan orangtua.
"Nah, kalau di Indonesia sendiri karena sistemnya komunal, budaya kita itu akhirnya menjauhi sebuah kritik ataupun diskusi. Jadi, seakan ketika ada masalah keluarga, ketika asertivitasnya menurun karena budaya komunal yang ingin menjauhi konflik ini, akhirnya kalau ada masalah, diam," jawabnya saat ditanya permasalahan keluarga Indonesia yang kerap ditemuinya.
Asertivitas atau cara penyampaian konflik yang kurang baik, dapat menimbulkan salah persepsi hingga muncul miss communication. Inilah budaya yang kerap dianggap normal, namun sebenarnya mendatangkan permasalahan jangka panjang bagi banyak keluarga di Indonesia.
Selaras dengan penjelasan Zahwa, "Ketika diam itu, akhirnya membuat kita gak belajar salahnya apa, kita gak tahu salah kita di mana, atau bahkan kita berasumsi, 'Sebenarnya apa sih yang akhirnya bisa aku lakukan biar keluargaku bahagia?'. Asumsi-asumsi inilah yang sangat terlihat sama orang-orang sehingga kita jadi orang yang overthinking."
Solusinya adalah memahami gaya keterikatan yang dimiliki oleh masing-masing individu. Selain dengan memahami teorinya, perjalanan mengenali diri sendiri dapat dilakukan dengan berkonsultasi ke profesional, misalnya psikolog.
"Mengenali secure atau insecure kita itu adalah sebuah proses ya. Dan ketika kita menyadari bahwa ketika kita berelasi, itu kita bisa memenuhi kebutuhan orang dan orang bisa memenuhi kebutuhan kita tanpa kita memaksakannya," tambahnya.
Memutus rantai keluarga yang beracun mungkin butuh proses yang panjang. Namun, Zahwa memberikan saran untuk mulai dengan belajar terlebih dahulu. Misalnya, dengan mendapatkan ilmu maupun berkonsultasi langsung ke psikolog.
"Belajar, membuka wawasan. Terus yang kedua adalah menyadari itu terjadi sama kita. Ketika kita menyadari, itu udah tahap yang bagus banget," ujar Zahwa sambil menambahkan bahwa proses menyadari ini bukan ditujukan untuk menyalahkan sumbernya, namun berempati.