Begitu kita remaja, kita cenderung lebih dekat dengan teman ketimbang keluarga. Maka wajar bila dari cara kita memperlakukan teman saja akan terlihat siapa kita sebenarnya. Terutama saat kita sudah dewasa dan karakter kita telah terbentuk.
Mungkin sering tidak kita sadari, tetapi 9 sikap kita pada teman berikut ini benar-benar bisa menjadi petunjuk buruknya kualitas diri kita:
Saking seringnya kita mendekat hanya saat butuh, teman kita sampai merasa malas jika kita sudah mulai menghubunginya. Tak pernah tanya kabar, mengajak bercanda, atau memberikan informasi yang penting untuknya melainkan selalu hanya tentang kebutuhan kita sendiri. Dalam hati, ia punya satu kata untuk kita: egois.
Sikap ini menunjukkan kita adalah orang yang bisa menghalalkan segala cara demi kepentingan pribadi. Kita tidak pernah memikirkan apakah teman kita sedang bisa diganggu atau tidak. Atau malah, tanpa kita sadari, kita menganggap semua orang tercipta untuk melayani keperluan kita.
Memang tidak semua orang mudah untuk secara langsung meminta maaf. Pun meminta maaf secara langsung mungkin terkesan terlalu kaku saat kita sudah berteman dekat dengan seseorang.
Namun setidaknya, kita harus tetap menunjukkan penyesalan. Kalau tidak, berarti kita memang tidak mengakui kesalahan kita padanya. Kita adalah orang yang selalu merasa paling benar.
Pertolongan bentuknya bisa macam-macam. Termasuk saat kita tidak tahu tentang sesuatu dan mencari petunjuk, lalu orang lain membagikan pengetahuannya yang bisa membantu kita.
Sudah seharusnya kita berterima kasih atau menunjukkan rasa syukur atas kesediaannya berbagi pengetahuan. Pengetahuan itu sangat mahal harganya. Maka kalau kita tidak melakukannya, kita akan ditandai sebagai orang yang tidak tahu terima kasih.
Ini berlaku baik dalam obrolan secara langsung, bertatap muka, atau hanya percakapan di media sosial. Teman kita akan merasa sangat aneh dengan sikap kita yang begitu saja meninggalkan obrolan. Apalagi, kita yang memulai obrolan itu.
Jika kita benar-benar tahu etika, kita akan bersikap seperti peribahasa datang tampak muka, pulang tampak punggung. Meninggalkan obrolan begitu saja padahal kita yang memulainya akan membuat orang lain merasa sangat tidak dihargai.
Sekalipun kita bermaksud baik, seperti hendak menolong orang lain, tindakan ini membuat kita melanggar privasi teman. Hanya karena kita mengenalnya sebagai orang yang baik, biasanya selalu mau menolong siapa pun, bukan lantas kita bebas berbuat tanpa izin langsung darinya.
Atau jangan-jangan, kita hanya ingin cari muka di hadapan orang lain tetapi dengan memanfaatkan barang teman? Wajar bila dalam hati, teman kita berkata, ‘Kalau mau baik sama orang lain, modal dong!’
Kalau kita selalu menganggap teman sebagai saingan, kita tidak akan pernah bersikap tulus padanya apalagi benar-benar mendukungnya. Kita bahkan tidak suka akan setiap keberhasilannya. Kita pikir kita mahir berpura-pura ikut senang. Namun percayalah, teman kita akan dengan mudah membacanya.
Hanya karena kita berteman dekat dengan seseorang, bukan berarti dia harus memberitahukan semua alasan di balik pilihan hidupnya pada kita. Apalagi kita sampai menghakiminya. Bila kita melakukannya, itu hanya menandakan kita tak bisa menghormati perbedaan dan hak orang lain menentukan arah hidupnya.
Bahkan saat kita punya segudang alasan di balik keraguan kita, seharusnya kita bisa menyimpannya untuk diri sendiri dengan sejumlah pertimbangan yang bijaksana. Pertama, jelas keraguan kita belum tentu benar.
Kedua, teman kita pasti lebih tahu tentang dirinya ketimbang siapa pun. Ketiga, mengatakan keraguan kita akan sangat melukainya bahkan bisa menggagalkan mimpinya bila ia tak teguh pada pendiriannya.
Jadi, sudahkah kita menjadi teman yang benar-benar teman?