Akhir yang Manis adalah Ketika Aku dan Kamu Berhenti Memaksakan

Artikel ini merupakan hasil karya peserta kompetisi menulis #CintaDalamKata yang diadakan oleh IDNtimes.com. Kalau kamu ingin artikelmu eksis seperti ini, yuk ikutan kompetisi menulis #CintaDalamKata! Informasi lebih lengkapnya, kamu bisa cek di sini.
Butuh waktu lama, sangat lama untuk menyadari ini, dan sebenarnya hingga detik ini aku masih belum baik-baik saja. Tapi setidaknya aku sudah sadar sekarang.
Berbulan-bulan kita lalui bersama dan semuanya tiba-tiba berakhir tanpa penjelasan. Adilkah ini untukku? Menurutmu setelah apa yang kita jalani, ini yang pantas aku dapatkan? Sebagian dari diriku ingin memaki-maki kamu hingga aku puas, ingin mengutuki kamu sambil menangis dan mengeluarkan semua rasa sakit ini, agar setidaknya kamu tahu bahwa yang kamu lakukan ini jahat.
Tapi, sebagian lagi berusaha menerima kenyataan bahwa mungkin memang perasaan tidak bisa dipaksakan. Pilihanmu adalah pergi, dan aku tidak mungkin memaksamu untuk tetap tinggal. Aku akan merenggut hakmu bila aku melakukan hal itu.
Inikah akhirnya? Atau memang kamu sudah merencanakan semua ini?
Aku terus bertanya pada diriku sendiri, apa ini salahku? Apa aku kurang sabar? Apa aku kurang baik untuk bisa bersama kamu? Apa yang aku buat sehingga membuat kamu memutuskan untuk akhirnya pergi? Hidup memang penuh teka-teki dan sekarang teka-teki yang aku hadapi adalah kamu. Kita. Kita yang tidak jelas, kita yang pada akhirnya tiba disebuah akhir.
Aku yakin akhir ini bukan yang akhir yang kita inginkan. Aku masih yakin ini bukan akhir kamu rencanakan—atau memang dari awal inilah yang kamu rencanakan? Kalau iya, yang kamu harus tahu adalah aku tidak pernah mengharapkan akhir yang seperti ini.
Aku berusaha sekuat yang aku bisa untuk kita, hingga kita bisa sampai sejauh ini. Usahaku selama ini bukan untuk tiba di akhir yang seperti ini. Dan jujur, aku sebenarnya masih mempertanyakan ini: Inikah akhirnya?
Ternyata kisah kita hanya sebatas lawakan belaka. Aku pantas ya, ditertawakan seperti ini?
Semua ini bagai lelucon. Yang aku jalani selama ini bersama kamu adalah lelucon, candaan belaka. Selamat, kamu berhasil menghibur semua penonton karena lawakan ini, dan terima kasih telah menyertakan aku sebagai orang yang ikut terlibat dalam lelucon ini.
Jika memang ini akhirnya, katakanlah dan pergi. Pergi sejauh-jauhnya karena aku tidak yakin aku masih sanggup melihatmu tanpa merasakan rasa sakit yang menyiksa. Aku tidak membenci kamu, mana mungkin aku sanggup melakukan itu?
Tak bisa aku pungkiri, sejauh ini kamu adalah satu-satunya orang yang sanggup membuat aku benar-benar bahagia. Dan aku tidak mungkin membenci orang yang pernah membuat aku merasa terbahagia, walau akhir yang kamu pilih adalah seperti ini. Aku pantas ya, mendapat akhir seperti ini? Ah, sudahlah.
Sulit untuk tetap baik-baik saja ketika kenyataan yang dihadapi memang tidak baik-baik saja.
Hidup akan tidak akan berhenti, hidup akan terus berjalan dan aku tahu semua akan baik-baik saja. Aku ingat aku pernah merasa sedih dan sakit sekali, dan aku berpikir andai waktu bisa aku putar dan berhenti di momen dimana aku merasa bahagia dan semua terasa benar. Sayangnya, andai-andai itu tidak berlaku didunia nyata ini.
Kesedihan itu harus tetap aku hadapi, aku harus tetap menjalani hidup, dan akhirnya kesedihan itu perlahan-lahan hilang. Ia hilang dan ia digantikan kebahagiaan lain yang ternyata lebih membahagiakan dibanding kebahagiaanku sebelumnya; kebahagiaan yang awalnya aku pikir sudah paling juara dan tak tertandingi, yang terus menahanku dan membuatku ingin kembali kesana.
Dan sekarang, aku merasakan sedih sekali yang jauh mengalahkan rasa sedih dan sakit yang pernah kurasakan sebelumnya. Lalu, aku sadar, bahwa hidup adalah roda yang akan terus berputar, dan tidak akan ada tahu kemana tujuan roda ini akan berputar. Tapi aku selalu percaya bahwa roda hidupku ini akan membawaku ke sesuatu yang luar biasa; dan aku belum tiba sekarang.
Walau aku belum baik-baik saja, akhirnya aku sadar. Akhirnya aku sadar bahwa ini mungkin sudah akhir untuk cerita kita, tapi bukan akhir ceritaku. Jujur, aku masih merasa kita—aku—tidak pantas mendapatkan akhir seperti ini, tapi aku akhirnya sadar akhir seperti ini juga bukan salahku. Aku akhirnya berhenti menyalahkan diriku sendiri, dan aku tidak mengatakan ini salahmu karena memang tidak ada yang salah dalam akhir cerita ini.
Mungkin semuanya memang hanya harus selesai. Mungkin memang inilah akhirnya, dan memang bagiku dan sebagian orang ini bukan akhir yang bisa disebut bahagia. Tapi ini akhir yang bahagia untukku. Bahagia bukan berarti kita harus bersama, kan? Mungkin bahagia berarti kita pergi dan berhenti memaksakan, kita pergi dan berhenti menyakiti, kita pergi dan menemukan hal hebat lain.
Aku tidak akan pernah melupakan rasa sakit ini. Aku tidak akan pernah melupakan semua bahagia kita kemarin. Aku tidak akan pernah melupakan kamu. Karena semua ini— semua yang terjadi selama ini antara kita— adalah sebuah cerita yang amat sangat berarti, yang akan telah membuatku menjadi sosok yang lebih kuat, yang membuatku akhirnya sadar bahwa hidup adalah rangkaian peristiwa yang mengagumkan.
Yang bisa kita lakukan untuk menghadapi semuanya adalah menerima. Karena kamu, karena kita, karena akhir pada cerita kita ini, aku bisa belajar akan banyak hal dan menyadari semua ini. Dan untuk itu, aku akan selamanya bersyukur.